2025 Indonesia kembali dihantam gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, hingga kuartal pertama tahun ini, setidaknya 73.992 pekerja kehilangan pekerjaan. Angka ini belum termasuk korban dari sektor informal yang tak terdata secara sistematis. Sektor manufaktur menjadi yang paling terdampak, diikuti oleh industri digital dan retail.
Namun, yang paling rentan dari semua ini adalah anak muda. Berdasarkan laporan Kompas (2025), kelompok usia 19–24 tahun adalah kontributor terbesar dalam angka pengangguran. Banyak dari mereka bekerja secara informal, tanpa jaminan sosial, dan paling mudah tergantikan.
PHK: Masalah Struktural, Bukan Musiman
PHK bukan hanya sekadar siklus. Ia adalah penanda dari kegagalan sistemik. Menteri Ketenagakerjaan menyebut penyebab PHK antara lain: pelemahan permintaan domestik dan ekspor, relokasi industri, perubahan model bisnis, dan ketegangan hubungan industrial.
Buku Pasar dan Karier: Kembali ke Akar karya Dr. Muhammad Faisal menjelaskan bahwa struktur ekonomi Indonesia sejak awal memang tidak dibangun untuk menciptakan keadilan pasar tenaga kerja. Ekonomi kita cenderung bertumpu pada sektor ekstraktif dan konsumsi jangka pendek, bukan pada penciptaan lapangan kerja berkualitas. Dalam analisisnya, Faisal menekankan bahwa selama logika pertumbuhan hanya dihitung lewat angka PDB dan bukan keberlanjutan karier warga, maka anak muda akan terus terjebak dalam pasar yang tidak sehat dan birokrasi yang kaku.
Anak Muda Terjebak di Tengah
Dalam konteks ini, anak muda menghadapi dilema besar. Di satu sisi, mereka dituntut untuk adaptif, kompetitif, dan produktif. Tapi di sisi lain, sistem yang menopang mereka—pendidikan, pelatihan kerja, hingga birokrasi ketenagakerjaan—belum siap memberi kepastian dan perlindungan.
Banyak dari mereka akhirnya mengalami situasi underemployment: bekerja tapi tidak sesuai kapasitas atau kebutuhan hidup. Sebagian lainnya bahkan terjebak dalam kerja tidak bergaji (unpaid internship), freelance tanpa kontrak, atau kerja kreatif dengan risiko tinggi.
Ketimpangan Pasar Tenaga Kerja: Dari Teori ke Realita
Dari kacamata teori ekonomi ketenagakerjaan, Teori Human Capital menekankan pentingnya pendidikan dan pelatihan sebagai fondasi produktivitas. Namun nyatanya, kurikulum pendidikan kita belum responsif terhadap perkembangan industri. Reskilling yang ditawarkan pun terlalu umum dan tidak berbasis wilayah atau sektor.
Sementara perspektif Keynesian menunjukkan bahwa pengangguran adalah akibat dari permintaan agregat yang rendah—yang tercermin dari menurunnya konsumsi rumah tangga pasca gelombang PHK. Ini membentuk lingkaran setan: PHK menurunkan daya beli → menurunkan permintaan → menekan perusahaan → menciptakan PHK baru.
Absennya keberpihakan negara dalam menciptakan pasar kerja yang sehat. Kita lebih sibuk menciptakan insentif bagi investor, ketimbang membangun sistem perlindungan kerja jangka panjang.
Respons Anak Muda: Adaptif atau Terpaksa?
Dalam kondisi ini, banyak anak muda akhirnya memilih jalan adaptif: bekerja di gig economy, jadi freelance, atau mengejar penghidupan di luar negeri. Fenomena #KaburAjaDulu bukan sekadar tren, tapi bentuk keputusasaan yang logis. Ketika negara tak menjamin masa depan, mobilitas menjadi bentuk penyelamatan diri.
Seiring itu, tumbuh pula gerakan komunitas yang menciptakan ruang kerja alternatif—lebih horizontal, lebih kolektif, dan lebih berbasis nilai daripada target.
Namun ini bukan solusi jangka panjang. Gig economy pun membawa risiko: tak ada jaminan kesehatan, tidak ada upah minimum, dan posisi tawar rendah di hadapan platform digital.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Untuk mengatasi krisis ini, perlu pendekatan menyeluruh. Beberapa langkah strategis yang dapat diambil meliputi:
- Reformasi sistem pendidikan dan pelatihan kerja, agar selaras dengan sektor-sektor masa depan (teknologi, green economy, care work).
- Investasi pada sektor padat karya modern, bukan hanya sektor padat modal yang mengandalkan otomasi dan tenaga kerja murah.
- Peningkatan perlindungan sosial, termasuk bagi pekerja informal dan freelance.
- Pembangunan indikator karier manusia, keberhasilan ekonomi harus diukur lewat kelayakan dan keberlanjutan kerja warga, bukan hanya lewat investasi dan pertumbuhan angka makro.
Penutup: Generasi Tanpa Pekerjaan atau Tanpa Harapan?
PHK massal bukan hanya memutus penghasilan. Ia memutus arah, makna, dan rasa percaya anak muda terhadap sistem. Jika kita gagal membaca ini sebagai krisis struktural, maka kita bukan hanya sedang menciptakan generasi tanpa pekerjaan, tapi generasi tanpa harapan
Daftar Pustaka
Muhammad, Faisal. (2022). Pasar dan Karier: Kembali ke Akar. Jakarta: Kompas.
Badan Pusat Statistik. (2025). Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Februari 2025. Jakarta: BPS. Retrieved from https://www.bps.go.id
CNN Indonesia. (2025, May 13). Apindo: PHK Naik Sejak Awal 2025, Sudah 73 Ribu Lebih Orang Kena. Retrieved from https://www.cnnindonesia.com
Kompas.com. (2025, May 6). Pekerja Informal RI Tembus 59,40 Persen, Anak Muda Paling Rentan PHK. Retrieved from https://money.kompas.com
Koran Tempo. (2025). Dampak PHK terhadap Pertumbuhan Ekonomi Nasional. Retrieved from https://koran.tempo.co
International Labour Organization (ILO). (2020). Skills for a brighter future in Indonesia. Bangkok: ILO Regional Office for Asia and the Pacific.