0   +   4   =  
Bagikan

Di tengah krisis kepercayaan terhadap ekonomi pasar dan stagnasi sistem formal, koperasi kembali mendapat tempat sebagai model ekonomi alternatif yang mengakar pada nilai gotong royong. Namun agar koperasi tidak menjadi sekadar nama, ia harus terkoneksi dengan ekosistem yang hidup—dan salah satu yang paling vital adalah komunitas.

Berangkat dari pengalaman mendalami dinamika  komunitas, saya percaya bahwa koperasi yang berhasil bukanlah yang sekadar mencetak surplus, tetapi yang mampu membangun rasa memiliki bersama. Dalam konteks inilah Koperasi Merah Putih menempati posisi strategis. Dengan visinya menghidupkan semangat ekonomi kolektif dan pelibatan aktif warga, koperasi ini bisa menjawab tantangan zaman: ketimpangan, keterasingan ekonomi lokal, dan hilangnya agensi warga dalam pengambilan keputusan ekonomi.


Komunitas Bukan Sekadar Pasar, Tapi Subjek Ekonomi

Salah satu kekeliruan terbesar dalam pengembangan koperasi konvensional adalah melihat masyarakat sebagai “target pasar”, bukan subjek yang memiliki kontrol. Pendekatan top-down yang banyak terjadi menyebabkan koperasi kehilangan roh dasarnya sebagai organisasi berbasis anggota (member-based), bukan investor atau elite pengurus.

Mengacu pada teori solidaritas sosial Emile Durkheim, komunitas memiliki potensi besar dalam menopang sistem ekonomi yang berfungsi bukan karena kontrak legalistik, tetapi karena kepercayaan dan nilai bersama. Di sinilah koperasi bisa hidup—di antara jaringan sosial yang aktif, dalam budaya saling bantu, dan pada memori kolektif bahwa kerja bukan cuma demi untung, tapi demi keberlanjutan hidup bersama.


Data dan Tantangan Koperasi Hari Ini

Menurut Kementerian Koperasi dan UKM, jumlah koperasi aktif per 2023 tercatat sekitar 127.124 unit, namun hanya sekitar 40% yang benar-benar menjalankan RAT (Rapat Anggota Tahunan) dan memiliki kegiatan ekonomi nyata. Salah satu sebabnya adalah lemahnya basis komunitas dan tidak adanya regenerasi kepemimpinan.

Baca Juga  Transisi Kehidupan Anak Muda di Indonesia

Lebih lanjut, data BPS (2023) mencatat bahwa kontribusi koperasi terhadap PDB nasional masih di bawah 5%. Ini menunjukkan bahwa meskipun koperasi diakui secara hukum, ia belum diakui secara strategis dalam ekosistem pembangunan ekonomi nasional.

Namun, studi lapangan menunjukkan: koperasi yang ditopang oleh komunitas aktif—misalnya koperasi petani organik, koperasi seni budaya, koperasi pekerja muda—memiliki daya tahan lebih tinggi terhadap krisis dibanding UMKM individual. Hal ini disebabkan oleh sistem resiprokal yang bekerja di dalam komunitas tersebut.


Koperasi Merah Putih dan Peran Komunitas

Koperasi Merah Putih, dengan misinya mendorong partisipasi warga dan memperkuat komunitas sebagai aktor ekonomi, berada dalam jalur yang tepat. Namun keberhasilan misi ini bergantung pada cara koperasi membangun relasi dua arah dengan komunitas, bukan hanya mendistribusikan layanan.

Ada tiga pendekatan yang saya nilai penting untuk menjembatani koperasi dan komunitas:

  1. Pendekatan Partisipatif-Dialogis (Freirean Approach)
    Seperti yang diajarkan Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed, transformasi sosial harus dimulai dari dialog. Koperasi tidak bisa hadir sebagai institusi yang “mengajari”, melainkan sebagai ruang dialog yang memungkinkan anggota memahami posisinya dalam sistem ekonomi, lalu bergerak bersama.
  2. Model Koperasi Berbasis Praktik Komunitas (Community of Practice – Wenger)
    Wenger menjelaskan bahwa pembelajaran sosial terjadi saat komunitas berbagi praktik dan nilai secara kolektif. Koperasi seharusnya menjadi “ruang belajar ekonomi” tempat warga bisa bertukar keterampilan, pengalaman, dan gagasan ekonomi—baik itu dalam hal produksi, distribusi, atau solidaritas.
  3. Desentralisasi dan Otonomi Lokal
    Koperasi Merah Putih sebaiknya tidak mengambil pendekatan “satu sistem untuk semua”. Setiap komunitas memiliki dinamika, kebutuhan, dan struktur sosial yang berbeda. Artinya, koperasi harus fleksibel secara tata kelola—memberikan ruang eksperimentasi lokal dalam sistem yang terintegrasi nasional.
Baca Juga  Anak Politik!

Membaca Masa Depan: Komunitas sebagai Infrastruktur Ekonomi

Saya mengamati bahwa anak muda, pekerja kreatif, serta komunitas berbasis nilai (seperti komunitas pertanian organik, ekowisata, koperasi digital) mulai menjadikan koperasi sebagai wadah alternatif untuk bekerja dan tumbuh. Bukan karena nostalgia ideologi, tapi karena kegagalan sistem ekonomi arus utama dalam menyediakan ruang hidup yang adil.

Artinya, koperasi tidak boleh sekadar didorong oleh program pemerintah, tapi harus ditumbuhkan sebagai kebutuhan sosial yang menjawab keresahan riil warga.


Penutup

Jika koperasi ingin tetap relevan, ia harus kembali ke akar: menjadi milik komunitas, dijalankan oleh komunitas, dan bermanfaat bagi komunitas. Bukan hanya sebagai badan hukum, tapi sebagai jaringan sosial-ekonomi yang memperkuat agensi warga.

Koperasi Merah Putih punya potensi jadi model masa depan: koperasi yang bukan hanya menyimpan uang dan membagi SHU, tapi yang menyimpan harapan dan membagi masa depan.

“Koperasi bukan soal ekonomi alternatif,
tapi soal membangun alternatif cara hidup.”


Bagikan