Beberapa bulan terakhir, publik kembali dihadapkan pada ironi demokrasi di negeri ini: ekspresi warga yang dibungkam atas nama ketertiban umum dan stabilitas nasional. Pameran lukisan Yos Soeprapto di Jakarta ditutup paksa. Pementasan teater Payung Hitam di Jawa Barat dibatalkan secara sepihak. Band Sukatani di Jawa Tengah dibungkam karena mengkritik instansi kepolisian. Bahkan yang terbaru, seorang mahasiswi asal Bandung dikriminalisasi hanya karena membuat meme yang berisi kritik sosial. Ini bukan sekadar rangkaian insiden biasa. Ini adalah gambaran jelas bahwa negara sedang menakuti rakyatnya.
Dalam konteks demokrasi konstitusional, tindakan-tindakan semacam itu jelas merupakan bentuk pembangkangan terhadap hukum. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”. Tidak hanya itu, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 bahkan memberi jaminan spesifik terhadap kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum. Indonesia juga telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) melalui UU No. 12 Tahun 2005, yang menjamin kebebasan berekspresi sebagai bagian dari hak asasi manusia.
Namun, mengapa Indonesia yang konon merupakan negara hukum justru bertindak represif terhadap kebebasan warganya? Di sinilah kita dapat menggunakan pandangan Antonio Gramsci tentang hegemoni. Gramsci bilang, kekuasaan tidak hanya bekerja melalui pemaksaan langsung (coercion), tetapi melalui persetujuan yang dibentuk lewat dominasi ideologis dalam budaya, pendidikan, dan komunikasi. Maka ketika seni—baik berupa lukisan, musik, teater, maupun ilustrasi digital—berupaya menyuarakan kritik bermuatan politis, maka sejatinya ia sedang menantang hegemoni penguasa. Negara kemudian merespons bukan karena karya itu “berbahaya”, melainkan karena karya itu mengancam dominasi yang menopang kekuasaan hari ini.
Lebih jauh lagi, Michel Foucault memberi kita lensa tentang bagaimana kekuasaan bekerja melalui kontrol atas wacana. Dalam pandangan Foucault, kekuasaan tidak hanya menindas kelompok yang lemah, tapi juga memproduksi kebenaran dan membentuk cara berpikir masyarakat. Dalam konteks ini, sensor terhadap karya seni adalah cara negara mengatur apa yang boleh dan tidak boleh dibicarakan di ruang publik. Tujuannya jelas: membatasi kemungkinan munculnya cara berpikir alternatif di luar dari yang ditawarkan oleh struktur kekuasaan yang ada. Dalam bahasa Foucault, inilah cara negara memastikan bahwa rakyat tidak bisa membayangkan kebebasan.
Rezim Prabowo-Gibran yang kental dengan nuansa militeristik juga memperparah situasi ini. Militerisme seringkali menjunjung tinggi disiplin, ketaatan, dan ‘Siap, Ndan’—nilai-nilai yang kontras dengan semangat demokrasi dan kebebasan berekspresi. Ketika orientasi kekuasaan lebih tertarik pada stabilitas politik demi kelancaran akumulasi kapital—seperti yang banyak terlihat dalam proyek-proyek pembangunan infrastruktur dan kawasan industri—maka kritik warga akan dianggap sebagai gangguan, bukan sebagai bentuk koreksi atas tindakan penguasa yang salah.
Padahal, esensi kritik yang dibalut lewat seni adalah untuk menyentuh nurani publik, membuka ruang diskusi, dan mendorong perubahan sosial. Lantas di sini harus ada penegasan ulang bahwa kritisisme warga bukan ancaman negara. Warga adalah subjek utama yang harus dilindungi dan dihormati hak-haknya.
Maka, alih-alih membungkam, negara seharusnya membuka ruang lebih luas bagi rakyat untuk mengekspresikan pandangan dan keresahannya. Karena hanya dalam masyarakat yang bebas dan kritis, demokrasi dapat tumbuh sehat. Negara yang takut pada rakyatnya, sejatinya sedang takut pada dirinya sendiri.
Dan apabila hari ini lukisan, musik, teater, hingga ilustrasi dianggap sebagai musuh negara, maka pastikan bahwa musuh negara akan bertambah satu, yakni saya. Saya juga musuh negara!
Oleh: Bagas Wisnu S., Head of Law and Democracy WargaMuda