10   +   8   =  
Bagikan

Perkawinan anak adalah musuh masa depan. Jikalau dahulu perjodohan Siti Nurbaya dapat menghancurkan harapan dan kebahagiaan anak muda terhadap cinta, maka di zaman sekarang ini perkawinan anak dapat memberikan dampak negatif yang luar biasa bagi kemajuan Indonesia di masa depan.

“Perkawinan anak adalah musuh masa depan”

Menurut saya, kasus perkawinan anak yang terus menjamur dapat menjadi ancaman yang besar bagi bonus demografi Indonesia yang diperkirakan akan berlangsung pada 2020-2030.

Sebenarnya apa yang dimaksud dengan bonus demografi? Bonus demografi adalah suatu kondisi di mana komposisi penduduk yang berusia produktif yaitu pada rentang usia 15-64 tahun berjumlah lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penduduk usia tidak produktif.

Dengan kata lain, penduduk berusia produktif dapat membantu kehidupan dan perekonomian mereka yang sudah berusia tidak produktif. Jadi, perekonomian negara akan menjadi semakin meningkat.

Masalahnya, bonus demografi akan sulit untuk direalisasikan apabila jumlah kasus perkawinan anak masih terus bertambah sampai sekarang. Berdasarkan analisis data yang dilakukan oleh International Center for Research on Women (ICRW) menunjukkan bahwa anak-anak perempuan yang berasal dari keluarga pra-sejahtera memiliki risiko dua kali lebih besar untuk terjerat dalam perkawinan anak.

“Anak-anak perempuan yang berasal dari keluarga pra-sejahtera memiliki risiko dua kali lebih besar untuk terjerat dalam perkawinan anak.” International Center for Research on Women (ICRW)

Selain itu, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa angka perkawinan usia anak masih sangat tinggi, yakni 11.2 persen atau berjumlah 1.2 juta kasus pernikahan.

Dari kedua data empirik tersebut menunjukkan bahwa perkawinan anak masih menjadi momok yang sangat mengerikan bagi masa depan Indonesia.

 

Baca Juga  Anak Muda Harus Tahu Residu Militerisme dalam UU PSDN

Perkawinan anak seringkali dapat restu orangtua

Ironisnya, masih banyak para orangtua dengan kondisi perekonomian rendah yang berpikir bahwa perkawinan anak dapat meminimalisasi kasus Married by Accident (MBA). Dengan kata lain, pernikahan dini dianggap sebagai upaya untuk menjauhkan anak-anak mereka dari zina.

Bukan hanya itu, membiarkan anak menikah di usia dini juga dianggap sebagai salah satu cara terbaik untuk terlepas dari jeratan ekonomi.

Terutama bagi para orang tua yang memiliki anak perempuan. Mereka menganggap bahwa melepaskan anak perempuan untuk menikah muda akan meringankan beban ekonomi yang harus mereka tanggung.

“Membiarkan anak menikah di usia dini juga dianggap sebagai salah satu cara terbaik untuk terlepas dari jeratan ekonomi.”

Lantas, apakah pemikiran seperti itu benar? Jawabannya adalah tidak! Orang tua zaman sekarang harus berani berpikir lebih progresif dan open minded, bahwasannya anak bukanlah beban ekonomi yang harus dilepaskan begitu saja. Akan tetapi, perubahan semacam ini tidak bisa terbentuk begitu saja pada diri setiap orang tua.

Saya sangat percaya bahwa keberhasilan suatu negeri dalam membentuk generasi muda yang hebat bermula dari dukungan pemerintah yang kuat terhadap para orang tuanya.

Oleh karena itu, perlu adanya peran dari pemerintah untuk mendukung dan membentuk para orang tua yang berpikir lebih progresif dan open minded.

Perkawinan anak menjamur, apa yang dapat pemerintah lakukan?

Pemerintah memang sudah mengeluarkan undang-undang (UU) Nomor 16 Tahun 2019 yang berkaitan dengan perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Dalam hal ini, Pemerintah menetapkan batas usia minimal menikah bagi anak perempuan dan laki-laki adalah 19 tahun.

Tentu saja ini merupakan suatu perubahan yang baik. Namun suatu hukum tidak dapat memberikan hasil yang maksimal, apabila tidak didukung dengan program pemerintah lainnya. Menurut analisa saya, beberapa hal di bawah ini dapat dilakukan oleh pemerintah untuk meminimalisasi angka perkawinan anak, sehingga bonus demografi tetap berada di posisi yang aman.

Baca Juga  12  Wabah Paling Mencekam Dalam Sejarah Dunia Selain Corona, Kenapa Milenial dan Gen Z Harus Tahu?

1. Meningkatkan akses pendidikan untuk semua anak Indonesia

Pendidikan adalah fondasi yang sangat penting untuk mewujudkan negara yang maju. Idealnya, pendidikan merupakan suatu hak yang harus didapatkan oleh semua anak di Indonesia.

Sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Sayangnya, pendidikan semakin menjadi suatu hal yang sulit tergapai bagi banyak generasi muda, terutama anak-anak Indonesia yang berasal dari keluarga pra-sejahtera.

Kesulitan dalam meraih pendidikan yang layak membuat generasi pemuda bangsa semakin pesimis untuk mendapatkan masa depan yang gemilang. Terlebih lagi, kondisi ekonomi keluarga yang tidak memungkinkan.

Kondisi ini membuat orang tua dan anak menjadi lebih mudah untuk menyetujui pernikahan dini. Ibaratnya, untuk makan sehari-hari saja sulit, apalagi untuk mengenyam bangku pendidikan. Dengan begitu, pernikahan dini dianggap sebagai solusi yang tepat daripada mengharapkan kesempatan pendidikan yang tidak pasti.

2. Menyelenggarakan pendidikan seks pada institusi pendidikan

Hal kedua yang dapat dilakukan oleh Pemerintah adalah menyerukan program pengajaran tentang sex education di seluruh institusi pendidikan Indonesia. Selama ini, masalah seks masih dianggap sebagai hal yang tabu. Tidak banyak para orang tua yang melarang anak-anaknya untuk berbicara masalah seputar seks.

Padahal, dengan adanya sex education di institusi pendidikan dan dukungan pengajaran dari para orang tua tentang hal ini, maka generasi muda pun akan semakin tahu dan memahami dampak negatif dari pernikahan di bawah umur.

Pemuda akan menjadi lebih concern dengan kesehatan dan masa depan mereka, karena kepedulian dari Pemerintah akan membuka pikiran mereka bahwa Negara hadir untuk kehidupan masa depan mereka.

3. Memberikan edukasi Orang Tua tentang dampak buruk perkawinan anak

Masih berkaitan dengan poin kedua, peran orang tua sangat lah besar untuk membentuk anak-anak yang lebih aware dengan masa depan mereka, terutama hal yang berkaitan dengan seks. Dalam hal ini, Pemerintah bisa bekerja sama dengan unit warga setempat untuk mengadakan workshop tentang sex education bagi para orang tua di setiap wilayah.

Baca Juga  Ironi #Dirumahaja Bagi Pemuda Tunawisma

4. Memperluas lapangan kerja untuk generasi muda

Tidak dapat disangkal lagi bahwa kemajuan ekonomi dapat menurunkan jumlah perkawinan anak. Seperti yang sudah disinggung di awal bahwa kasus perkawinan anak semakin bertambah karena para orang tua menganggap pernikahan dini merupakan solusi yang tepat untuk menghindari mereka dari jeratan ekonomi.

Apabila Pemerintah berupaya untuk semakin meningkatkan lapangan kerja, terutama bagi para pemuda di usia produktif, maka pandangan bahwa pernikahan adalah obat dari kemiskinan akan memudar secara perlahan-lahan.

Perkawinan anak sering berakhir mengenaskan. Namun,  Kami juga tidak melarang para pemuda untuk menikah. Tetapi, menikah di usia dan status perekonomian yang matang akan membantu meminimalisasi angka perceraian dan kemiskinan. Sehingga, generasi muda terbebas dari jeratan perkawinan anak dan bonus demografi pun bisa kita dapatkan secara optimal.


Bagikan