2   +   1   =  
Bagikan

Banyak dari kita, warga muda, memahami persoalan tetapi tidak banyak yang mengetahui bagaimana caranya agar persoalan itu bisa diselesaikan. Itulah problem kita hari ini.

Undang-Undang Dasar 1945, atau kumpulan norma yang diturunkan dari grundnorm (norma dasar) kita Pancasila, menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Jelas dan gamblang penyebutan itu di Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.

Sebagai negara hukum artinya, menurut Albert Venn Dicey, Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut tiga kaidah penting yang mesti diwujudkan.

Pertama adalah peraturan perundang-undangannya harus berdasar konstitusi. Kedua adalah seluruh warga negara dianggap sama di depan hukum. Ketiga, atau yang terkahir dan teramat penting, supremasi hukum atau hukum dianggap sebagai suatu yang tertinggi dan alat penyelesaian persoalan antar warga negara dan Pemerintah, warga negara dan warga negara.

Segala macam persoalan di Indonesia itu mestinya harus diselesaikan melalui jalur hukum. Argumentasi tersebut bukan berarti kearifan lokal seperti musyarawah dan kesepakatan melalui mediasi itu tidak diperbolehkan. Musyawarah dan kesepakatan melalui mediasi sangat diperbolehkan bahkan Pasal 130 HIR dan 153 RBg tentang mediasi diperjelas melalui Perma Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Pun kesepakatan dengan media diversi mulai diterapkan dalam UU 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Hanya saja apabila tidak menemui titik temu maka hukum harus ditegakan. Negara hukum melarang masyarakatnya main hukum sendiri (eigenrichting).

Kesulitan kita memanfaatkan hukum memang sebagian besar dipengaruhi oleh bayang-bayang yang telah melekat di benak masyarakat. Bayang-bayang mengenai rumitnya proses hukum, kecenderungan akan mengeluarkan biaya banyak, dan terbatasnya kemampuan memahami mekanisme penyelesaian persoalan melalui pengadilan. Semua bayang-bayang itu menghantui hingga akhirnya urung untuk menempuh prosedur hukum.

Persoalan pun lantas mengambang, tertutup, seraya menjadi ‘api dalam sekam’ yang sewaktu-waktu dapat meledak. Risikonya adalah kemudian persoalan itu ketika hendak diselesaikan secara hukum telah daluwarsa, persoalannya menjadi tak lagi cukup bukti, dan yang paling ekstrem adalah keinginan menerapkan ‘hukum adat’ dengan pola-pola kekerasan yang justru melanggar hukum.

Baca Juga  Anak Muda dalam Konstruksi Ruang Sosial

Untuk sekedar pemahaman sedikit saja bagi warga muda maka akan dijelaskan secara singkat beberapa perbedaan dan tata cara penyelesaian persoalan melalui hukum. Hal-hal yang pasti biasa didengar warga muda adalah hukum pidana dan hukum perdata. Kedua hal itulah yang akan kita bahas.

Hukum Pidana

Hukum pidana menurut Prof. Sudarto, guru besar Universitas Diponegoro, adalah perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu, dimaksudkan perbuatan yang dilakukan oleh orang, yang memungkinkan adanya pemberian pidana. Perbuatan semacam itu dapat disebut perbuatan yang dapat dipidana atau dapat disingkat perbuatan jahat (actus reus). Perbuatan jahat ini harus ada orang yang melakukannya maka persoalan mengenai perbuatan itu dibagi menjadi dua, yaitu perbuatan yang dilarang dan orang yang melanggar larangan itu.

Hukum pidana masuk dalam kategori hukum publik. Hukum publik adalah hukum yang mengatur hal-hal yang terkait kepentingan umum. Oleh sebab itu yang bertindak sebagai penuntut di dalam hukum pidana adalah pengacara negara yang biasa kita kenal dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Korban hanya bertindak sebagai pelapor dan saksi korban yang melihat, mendegar, dan merasakan sendiri akibat dari kejahatan orang lain. Sementara pelaku menjadi tersangka apabila telah memenuhi dua alat bukti (unus testis nullus testis) kemudian menjadi terdakwa di hadapan sang hakim.

Contoh dari hal-hal umum yang masuk dalam lingkup pidana adalah pencurian, pencemaran nama baik, pembunuhan, ujaran kebencian, dan lain sebagainya. Jenis putusan yang diberikan oleh hakim dalam hukum pidana ada tiga yaitu jika terbukti bersalah maka dipidana, jika tidak terbukti maka dibebaskan, jika terbukti tetapi bukan tindak pidana (Peniadaan Pidana Pasal 44 – 52 KUHP) –seperti contoh pembelaan terhadap begal yang dilakukan oleh santri adura itu- maka akan diputus lepas.

Hukum Perdata 

Selanjutnya hukum perdata. Hukum perdata adalah hukum yang mengatur segala ketentuan terkait hak dan kepentingan antar individu di dalam masyarakat. Hukum perdata berbeda dengan hukum pidana yang bersifat publik. Hukum perdata hanya berdampak langsung bagi para pihak yang terlibat yang oleh sebab itu disebut sebagai hukum privat.

Baca Juga  Generasi Milenial adalah Generasi Negatif, Masa Iya?

Jika di dalam pidana diawali oleh dakwaan dan diakhiri dengan tuntutan, sebelum kemudian putusan hakim, sehingga pihak yang berperkara disebut terdakwa dan yang mendakwa hingga menuntut disebut penuntut umum. Maka di dalam perdata diawali dengan gugatan, jawaban, dan diakhiri dengan putusan. Pihak-pihaknya disebut dengan penggugat dan tergugat.

Perkara di dalam perdata secara sederhananya terdapat dua hal, yakni wanprestasi dan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).

Wanprestasi menurut Yahya Harahap, mantan Hakim Agung, adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya, sehingga menimbulkan keharusan bagi pihak debitur untuk memberikan atau membayar ganti rugi (schadevergoeding), atau dengan adanya wanprestasi oleh salah satu pihak, pihak yang lainnya dapat menuntut pembatalan perjanjian.perjanjian yang dibuat tersebut berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.

Jadi jika warga muda memiliki perjanjian yang terang dan tertulis dengan pihak lain. Lalu pihak tersebut mengingkari atau melaksanakan tetapi tidak sesuai perjanjian maka warga muda bisa menggugat dengan memohon ganti rugi sesuai Pasal 1243 KUHPer.

Selanjutnya di dalam perkara perdata adapula perkara perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Perbuatan melawan hukum ini ada di dalam Pasal 1365 KUH Perdata, yang berbunyi “Tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian untuk mengganti kerugian tersebut.”

Contoh perkaranya adalah seandainya ada seorang teman yang meminjam motor warga muda. Karena kesalahannya mengemudi kemudian motor warga muda terjatuh dan rusak. Maka saudara bisa menuntut ganti rugi atas kerusakan itu baik dalam bentuk uang maupun dimintakan dijadikan seperti keadaan semula.

Perbedaan antara wanprestasi dan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) adalah soal bagaimana perbuatan dilakukan. Wanprestasi didahului perjanjian yang mana perjanjian itu menjadi alat buktinya. Sementara perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) bisa dimintakan kapanpun tanpa perlu janji yang penting warga muda mampu membuktikan unsur adanya kesalahan pelaku dan adanya kerugian yang dialami serta antara kesalahan dan kerugian itu berkaitan.

Baca Juga  Kalau Negara Gagal Menanggulangi Corona, Lalu Pemuda Harus Bagaimana?

Perdata juga mengatur gugatan voluntair atau gugatan permohonan. Gugatan ini diajukan dalam bentuk permohonan yang ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan, permohonan mana merupakan kepentingan sepihak dari pemohon yang tidak mengandung sengketa dengan pihak lain. Contohnya seperi ketika warga muda hendak mengubah nama, mengangkat anak, atau membuat penetapan ahli waris.

Sifat putusan perdata ada tiga putusan deklarator atau deklaratif (declatoir vonnis) adalah pernyataan hakim yang tertuang dalam putusan yang dijatuhkannya. Contohnya penetapan ahli waris, sahnya pernikahan, atau kepemilikan benda. Putusan constitutief (constitutief vonnis) adalah putusan yang memastikan suatu keadaan hukum, baik yang bersifat meniadakan suatu keadaan hukum maupun yang menimbulkan keadaan hukum baru. Contohnya seperti perkawinan cerai, mengankat anak dan lainnya. Putusan condemnatoir adalah putusan yang amarnya memuat  menghukum salah satu pihak yang berperkara. Contohnya menghukum si A membayar ganti rugi, menghukum si B membuat mobil yang rusak itu menjadi seperti keadaan semula, dan banyak lagi.

Akhir Kata

Itulah sederhananya mekanisme penyelesaian persoalan yang sering dihadapi, yang hanya karena ketidakpahaman, seolah menjadi sulit diselesaikan. Mulai sekarang sedikit demi sedikit warga muda harus belajar hukum. Minimalnya memahami dasar-dasarnya saja sebagai kewajiban dari asas utama negara hukum, yakni asas fictie hukum. Asas fictie hukum adalah asas berlakunya hukum yang menganggap setiap orang mengetahui adanya sesuatu Undang-Undang. Sehingga, tidak ada alasan seseorang membebaskan diri dari Undang-Undang dengan pernyataan tidak mengetahui adanya Undang-Undang tersebut.

Nanti dilanjut ya soal Hukum Tata Negara, Hukum Tata Usaha Negara, Hukum Administrasi Negara dan hukum-hukum lainnya.

Bakhrul Amal adalah Penulis buku Hukum dan Masyarakat, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP


Bagikan