3   +   2   =  
Bagikan

Runtuhnya Orde Baru menjadi modal penting untuk masuknya gelombang demokrasi melalui pintu reformasi di republik ini. Gelombang demokrasi tersebut perlahan menyapu militerisme dan kemapanan politik militer di sekitar lingkar kekuasaan. Hal ini terwujud kedalam salah satu tuntutan reformasi, yakni penghapusan dwi fungsi ABRI (TNI/Polri). Melalui gelombang demokrasi itu pula supremasi sipil, kebebasan berpendapat, dan berserikat menguat setelah lama terkekang pada masa Orde Baru.

Namun demikian, pada dasarnya kekuasaan dan militerisme Orde Baru tidak pernah benar-benar jatuh. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal, pertama belum tuntasnya penyelesaian kasus pelanggaran berat HAM masa lalu, reformasi peradilan militer yang belum tuntas, kembalinya militer ke jabatan sipil, perluasan peran militer dalam ranah sipil, seperti dalam hal keterlibatan militer dalam keseluruhan upaya penyelesaian konflik (penggusuran, intoleransi, pembagunan). Belum lagi jika kita berbicara bagaimana penyelesaian konflik di wilayah Papua.

Perluasan peran tersebut juga melalui beberapa produk hukum, seperti pelibatan TNI dalam penghentian konflik dalam UU No. 7/2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, Pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme di UU No. 5/2018 tentang Pemberantasan Terorisme, RUU Kamnas, Wacana revisi UU TNI yang salah satu poinnya penambahan jabatan sipil yang dikecualikan untuk TNI Aktif, serta dalam UU No. 23/2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional Untuk Pertahanan Negara (UU PSDN).

UU PSDN

UU PSDN menjadi wacana militerisme yang eksplisit muncul ke permukaan publik. Di dalamnya diatur pelbagai hal mengenai bela negara, penataan komponen pendukung, pembentukan komponen cadangan, penguatan komponen utama, pelatihan dasar kemiliteran secara wajib, Mobilisasi dan Demobilisasi. Keseluruhannya dilakukan dalam rangka menghadapi ancaman militer, nonmiliter, dan hibrida, atau secara umum dalam rangka penguatan pertahanan negara. Namun demikian, mahfum kita ketahui dan pahami bahwa spectrum ancaman itu bukan lagi sebatas territorial (ancaman fisik/militer), karena sifatnya sudah melingkupi ancaman berbasis ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan (ipoleksodbudhankam). Sehingga tentu menjadi pertanyaan, bukankah kebutuhan basis pertahanan negara ini bukan hanya militeristik?

Baca Juga  Gerakan Sosial Tidak Harus Melulu Besar

Pada pasal 6 (2) huruf d memang disebut pengabdian sesuai profesi sebagai salah satu bentuk keikutsertaan warga negara dalam bela negara. Namun anehnya, pasal 15 (3) justru menyebut bahwa pengabdian sesuai dengan profesi untuk menghadapi Ancaman militer dan Ancaman hibrida sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui keanggotaan Komponen Cadangan dan/atau Komponen Pendukung. Pertanyaannya, bentuk ancaman seperti –disebutkan dalam ayat pasal 4 ayat (3)– kerusakan lingkungan, wabah penyakit, serangan biologi, dan serangan kimia, apakah relevan dilakukan dengan cara keanggotaan Komcad? Sehingga, pada titik ini kita melihat bahwa apapun profesinya, potensi untuk diarahkan dan dilibatkan kedalam unsur militeristik tetap terbuka. Bela negara sesuai dengan profesi tersebut tetap saja pada saat tertentu akan bersifat militeristik.

Pengaturan yang paling relevan praktis terdapat Pasal 15 ayat (4) yang menyebutkan bahwa pengabdian sesuai dengan profesi untuk menghadapi Ancaman nonmiliter sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikoordinasikan oleh kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian sesuai dengan bidang profesi yang berkaitan dengan tugas dan fungsi kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian.

Kemudian terkait Komponen Cadangan, Pasal 5 (1) UU PSDN mengamanatkan salah satu upaya dalam Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara dilaksanakan melalui usaha pembentukan Komponen Cadangan (Komcad). Komponen Cadangan ini disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan Komponen Utama. Nantinya, sesuai pasal 6 (5), Pelatihan dasar kemiliteran secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diberlakukan kepada calon Komponen Cadangan yang telah memenuhi persyaratan. Adapun warga negara yang berhak mendaftar Komcad berusia 18-35 tahun.

Namun anehnya, pasal 46 mengatur bahwa bagi Komponen Cadangan selama masa aktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) diberlakukan hukum militer. Padahal, Dalam definisinya, tidak ada ketentuan apapun yang menyebutkan bahwa Komcad merupakan prajurit aktif TNI atau yang dipersamakan dengan TNI, serta Komcad dipersamakan dengan TNI. Di sisi lain, Pasal 65 ayat (2) UU No. 34 Tahun 2004 Tentang TNI secara eksplisit menyebutkan bahwa yang tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer adalah prajurit. Sehingga, bagaimana mungkin sipil harus tunduk kepada hukum militer? sementara militer tidak tunduk terhadap hukum sipil ketika melakukan tindak pidana dalam ranah sipil. Bahkan upaya revisi UU peradilan militer pun sampai kini menemui jalan buntu.

Baca Juga  Cara Milenial Meraih Kebebasan Finansial

Dalam konteks ini, sulit untuk tidak menyebut fenomena ini sebagai militerisasi sipil. Mengingat bukan hanya pelatihan militer, tetapi juga ketundukan akan hukum militer yang secara eksplisit terlihat. Lebih lanjut, tentu menjadi pertanyaan juga, apa urgensi Komcad ini tunduk kepada hukum militer? Status anggota Komcad yang notabene sipil, tentu potensi menyalahi spirit supremasi sipil yang selama ini kita perjuangkan pasca runtuhnya Orde Baru.

-Isme

Salah satu persoalan yang patut disorot adalah residu militerisme. Melalui residu –isme ini, kekuasaan dan militeristik itu menjadi tidak benar-benar jatuh. Hal ini dapat terjadi di lingkar kekuasaan atau pun di akar rumput. Di lingkar kekuasaan misalnya, upaya-upaya menarik militer aktif menjadi salah satu contohnya, atau bahkan upaya ‘menumpuk’ purnawirawan militer di lingkar kekuasaan tersebut. Termasuk juga pelibatan-pelibatan militer oleh pemerintah pusat atau pun daerah dalam hal penyelesaian konflik, yang secara implisit mengisyaratkan bahwa apapun persoalannya militeristik adalah solusi.

Sementara di akar rumput dapat dilihat pada aktivitas ormas dengan menggunakan atribut menyerupai militer. Berpenampilan menyerupai militer disini dalam arti cara berpakaian seragam loreng seperti dan/atau menyerupai militer, mulai dari penggunaan baret, tanda kepangkatan di bahu, sampai sepatu PDH (Pakaian Dinas Harian), kemudian baris-berbaris berikut pemakaian yel-yelnya, dan penggunaan struktur komando beserta sebutannya.

Pada tahun 2017, hasil riset yang The Pew Research Center’s Spring 2017 Global Studies Survey yang berjudul Globally, Broad Support for Representative and Direct Democracy yang melibatkan 41.953 responden di 38 negara, termasuk Indonesia, cukup mengagetkan. Riset tersebut dilakukan untuk melihat bagaimana masa depan demokrasi di negara-negara di dunia, termasuk sikap para penduduknya. Hasilnya, memang ada tanda-tanda kerinduan masyarakat akan rezim militeristik ala Orde Baru, karena terdapat 68 persen orang Indonesia yang percaya bahwa pemerintahan militeristik akan berdampak baik jika diterapkan di Indonesia. Cuma persentase Vietnam yang lebih tinggi dari Indonesia dengan angka 70 persen.

Baca Juga  Corona Ancam Bonus Demografi di Indonesia

Fenomena ini menggambarkan bagaimana militerisme masih tumbuh atau bahkan diidamkan kembali ditengah masyarakat. Otoritarianisme dan militeristik yang dibangun selama tiga dekade lebih tampaknya tidak sekedar dibangun dengan basis struktural, namun kultural yang tersosialisasikan secara turun-temurun, sehingga menciptakan mindset military yang begitu kuat dan menyentuh masyarakat akar rumput termasuk anak muda.

 

Ikhsan Yosarie adalah Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute. Ia merupakan anak muda yang memiliki kepakaran dibidang  kajian militer dan demokrasi di Indonesia.


Bagikan