4   +   7   =  
Bagikan

Mentransformasi Politik Pelajar – Warga Muda

Berkat bertemu Fajar Iman Hasanie,  seorang peneliti perilaku pelajar Indonesia, di sela-sela waktu, sekarang, saya tidak hanya mempelajari anak muda tetapi juga diskursus politik pelajar. Politik pelajar bisa dikatakan sebuah diskursus yang hampir diabaikan oleh para ilmuwan politik dunia, termasuk di Indonesia. Pelajar selalu diasosiasikan sebagai entitas yang tak perlu dan tak paham politik.

Padahal di sejarah Indonesia, kelompok pelajar  seringkali terlibat dalam setiap momentum politik, aksi politik mereka tak terduga,  tak jarang membelot dari narasi besar kekuasaan.

Sejarah politik pelajar di Indonesia  menunjukan kelompok ini lebih kreatif daripada organisasi berbasis kelas. Lihat saja, pada setiap periode besar bangsa, para pelajar Indonesia sering mempelopori pergerakan yang mengubah keadaan bahkan sejak  Kebijakan Politik Etis dari pemerintahan Belanda diselenggarakan.

Jika dibandingkan dengan politik pelajar sebelum kemerdekaan, pelajar hari ini memang  hidup pada zaman yang berbeda. Mereka tidak pernah di todong senjata. Sekarang Mereka tidur nyeyak dan  kenyang makan budaya pop. Memang,  mereka mencoba berjarak dengan politik, walaupun tetap mengamati situasi terkini dengan gayanya masing-masing di media sosial.

Yang luput dari pandangan kita adalah para pelajar yang mulai mengenal organisasi-organisasi sayap partai politik. Para kader partai secara senyap mulai merangkul mereka. Ini harus disikapi positif, karena proses kaderisasi menjadi proses belajar yang juga penting diluar jam mata pelajaran sekolah. Yang buruk adalah, jika para pelajar ini hanya dimobilisasi untuk menjadi alat pukul politik.

Memang dilematis. Para pelajar diharapkan melek politik, tapi mereka memiliki arena politik yang sempit. Padahal, anak-anak muda yang dibutuhkan bangsa kedepan, adalah  para pelajar yang berani mengguggat status qou dan mendorong kemajuan. Bagi saya, tugas sekolah dan lembaga pendidikan memberikan pendidikan politik demokratis kepada para pelajarnya.

Baca Juga  Kalau Negara Gagal Menanggulangi Corona, Lalu Pemuda Harus Bagaimana?

Pertanyaan besarnya bagaimana guru mampu memfasilitasi pendidikan politik untuk siswanya? Lalu bagaimana memulai membicarakan politik di dalam kelas? Dan bagaimana memposisikan sikap dan partisipasi politik pelajar? Dapatkah guru berbagi pandangan politik mereka kepada siswa?

Sekolah tempat berpolitik

Dilema telah dijawab oleh Diana E.Hess dan Paula McAvoy dalam buku mereka “The Political Classroom: Evidence and Ethics in Democratic Education”. Mereka memulai penelitiannya dari tahun 2005 sampai 2009. Dengan melibatkan 21 guru dan 1.001 siswa di 35 sekolah. Menurut kesimpulan mereka, seharusnya sekolah menjadi tempat pendidikan politik tetapi bukan politik partisan. Karena sekolah seharusnya mampu mengendalikan polarisasi akibat politik di masyarakat.

Menurut Hess, ada sejumlah sekolah yang mendorong siswanya untuk terlibat dalam kampanye politik. Mereka cenderung memilih kampanye yang tidak terlalu kontroversial dan memposisikan diri pada isu yang paling diterima banyak orang atau mayoritas.

Misalnya di Indonesia, kampanye anti LGBT atau Ahmmadiyah, sebenarnya ini merupakan sikap politik, tetapi pihak sekolah berani memobilisasi pelajarnya karena banyak masyarakat yang bersikap sama dengan pandangan sekolah terhadap kelompok-kelompok minoritas. Pandangan pelajar yang berbeda pastinya akan diberangus oleh otoritas di sekolah.

Banyak sekali kekelirutan kita terhadap siswa di dalam kelas. Bagi guru-guru, di kelas lebih banyak persamaan daripada perbedaan. Padahal setiap anak memiliki pikiran yang beragam yang bahkan teknologi paling canggih pun tidak akan mampu menyeragamkan sikap politik pelajar.

Padahal menurut McAvoy, sekolah adalah tempat berjuang masyarakat dan guru untuk mendorong politik yang demokratis.  Bagi McAvoy, politik adalah keterampilan yang perlu dipelajari setiap orang. Sekolah adalah tempat yang paling luar biasa karena dapat mengumpulkan hampir seluruh anak muda di sebuah negara  dan membentuk pandangan politik mereka. Politik dalam hal ini adalah politik yang mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan dan  demokrasi.

Baca Juga  Akselerasi Teknologi di Tengah Pandemi

Dengan demikian, ruang kelas harus bisa menjadi tempat belajar politik bagi pelajar untuk membahas masalah-masalah kebangsaan dan kenegaraan. Kelas ini harus mengutamakan keterbukaan dan musyawarah, agar para pelajar tidak hanya  mendapatkan wawasan tetapi juga kebijaksanaan.

Harapannya, para pelajar dapat memilah dan memilih mana yang utama dan pertama bagi kebaikan bersama dalam proses yang paling demokratis. Selain itu, para guru tidak hanya menjelaskan apa itu Kemiskinan? Tapi juga harus mendorong pelajar bergerak untuk mengetaskan kemiskinan. Tidak hanya mengajari konsep keadilan tetapi juga harus berjuang menegakkan keadilan.


Bagikan