5   +   1   =  
Bagikan

Milenial Kelas Bawah – Warga Muda

Gagasan milenial Indonesia selalu merujuk pada anak-anak muda yang hidup di perkotaan. Mereka dianggap lahir sebagai kelas menengah dan terbiasa berteknologi. Masalah generasi ini dinilai hanya seputar pencarian jati diri dan tekanan gaya hidup.

Narasi ini sangat hingar bingar, dilestarikan oleh media massa. Tapi mereka luput, bahwa masih banyak anak muda yang hidup di bahwa garis kemiskinan.

Mereka hidup dengan keluarganya yang miskin, tinggal di pinggiran kota, bersama jutaan keluarga lain yang hidup di gang-gang kecil sembari mengutuk nasib.  Kelompok anak-anak muda ini sering di stigma sebagai Jamet, Kuproy dan perempuan burik di media sosial.

Ancaman dari Industrialisasi 4.0  dan globalisasi belum mereka ketahui, tapi sudah terasa langsung pada hidupnya. Padahal, teman sebaya mereka yang berada di kelas menengah, anak-anak yang terpelajar, mulai ketakutan dan mengalami kepanikan moral akibat ancaman kemiskinan juga pengangguran yang makin merajalela.

Narasi pemuda kelas bawah perlu mendapatkan tempat sekarang. Narasi ini tak bisa disembunyikan lama-lama oleh pemerintah. Menutupi fakta dengan cerita-cerita sukses anak muda yang berkecimpung di dunia start up, cukup membahayakan bagi kepentingan kita bersama. Karena anak-anak muda tersebut  juga belum sepenuhnya membuktikan diri berhasil secara rill di dunia nyata.

Anak-anak muda yang hidup dalam kemiskinan perlu dilihat sebagai potensi ketimbang masalah.  Sayangnya, pemerintah pusat maupun daerah masih memandang anak-anak muda kelas bawah ini sebagai patologi sosial.

Cara pandang sinis semacam ini hanya akan melahirkan program-program ad hoc yang melulu berorientasi pada ceramah, ceramah dan ceramah tanpa ada perbaikan secara struktural berarti. Oleh karena itu, cara pandang yang lebih positif atau apresiatif pada eksistensi anak muda penting dimiliki oleh multipihak.

Baca Juga  Hari Teknologi Nasional 2023 : Bayangan Kebocoran Data Hingga Pemerataan Akses Internet Di Indonesia

Bentuk intervensi yang paling baik saat ini adalah secara sistemik, bukan hanya dengan pendekatan pendidikan moral. Karena kebijakan kepemudaan yang terjebak pada dimensi hukum dan moral seringkali malah menjadikan posisi anak-anak muda kelas bawah sebagai “kelompok bermasalah” yang perlu dibatasi ruang geraknya.

Bantu sebelum tumbang

Saya mulai mempelajari dan mengumpulkan informasi berkaitan dengan suara-suara sumbang generasi milenial yang hidup di bawah garis kemiskinan. Memang perlu komitmen khusus untuk memulai penelitian yang serius dalam menghadirkan yang bisu untuk jadi lawan tanding narasi utama.

Saya meyakini, penggalian ide-ide milenial kelas bawah akan membantu kita untuk mengoreksi formasi sosial yang hari ini sedang berlangsung. Sebagian besar penyelenggaraan kekuasaan tidak memasukan milenial kelas bawah dalam perhitungannya. Akibatnya, alokasi dan distribusi sumber daya kepada anak muda malah semakin mereproduksi ketimpangan.

Menghadirkan milenial kelas bawah dalam wacana arus utama akan membantu kita untuk merestrukturisasi pasar tenaga kerja, jaminan sosial, kebutuhan tempat tinggal, sistem pendidikan, penyelenggaraan birokrasi, bahkan strategi pembangunan ekonomi.

Di era industri 4.0 ini, milenial kelas bawah menjadi lebih berisiko dan rentan ditumbalkan negara atas dalil demi kemajuan bangsa.  Tapi bagi kelas di atasnya, mereka sangat optimis menyambut masa depan Indonesia maju.

Pada titik yang paling ekstrem, milenial kelas bawah bisa menjadi tunawisma, pengangguran dan terlibat dalam tindak kejahatan atau tertimpa marjinalisasi sosial yang cukup serius.

Milenial kelas bawah sangat dihimpit keadaaan bahkan oleh tuntutan keluarga mereka sendiri.

Bila tidak ada perubahan yang radikal. Milenial kelas bahwa akan bernasib buruk. Tanpa bantuan negara dan kelas menengah yang kuat, mereka akan lumpuh, kalah bertanding dengan milenial dari kelas di atas mereka.

Baca Juga  Generasi Muda Perlu Menginovasi Partai Politik

Akibat lapangan kerja yang semakin sempit dan keterampilan kerja yang buruk, mereka akan bingung harus berbuat apa selain hanya menjadi pasukan cadangan bagi roda industri 4.0 dengan upah yang semakin murah.

Dalam skenario itu, menurut saya, hanya butuh waktu 5 tahun lagi, anak muda kelas menengah bawah di Indonesia akan kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan seumur hidup hingga jadi lansia, dan bangsa ini harus mulai memikirkan jalan alternatifnya bagi kehidupan generasi sekarang di masa mendatang.

Salah satu caranya, dengan menghadirkan diskursus milenial kelas bawah ke dalam proses-proses politik perumusan kebijakan publik.


Bagikan