2   +   5   =  
Bagikan

Keluarga, setiap mendengar kata ini saya langsung teringat dengan quote yang berbunyi “Everyone needs a house to live in, but a supportive family is what builds a home”.

Quote ini membuat kita sadar bahwa setiap orang memang memerlukan tempat tinggal untuk dihuni. Namun, kita memerlukan keluarga yang suportif untuk dapat membangun sebuah rumah yang nyaman. 

Sebagai partikel terkecil dalam masyarakat, peran keluarga memang sudah tidak diragukan lagi. Desa bisa terbentuk karena ada keluarga. Bahkan, suatu negara dapat memiliki generasi penerus pun karena ada keluarga.

“Keluarga yang harmonis akan memberi dampak positif bagi lingkungan dan negara”

Saya setuju bahwa keluarga yang harmonis akan memberi dampak positif bagi lingkungan dan negara. Tapi, perlukah negara ikut campur mengatur hal-hal privasi dalam keluarga?

Di awal tahun 2020, kita dikejutkan dengan hadirnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga yang masuk ke dalam Prolegnas Prioritas 2020.

RUU ini diusulkan oleh beberapa fraksi partai yang berbeda antara lain, Fraksi Golkar, Fraksi PKS, Fraksi Gerindra, dan Fraksi PAN. Meskipun pada akhirnya, Fraksi Golkar mengklaim bahwa mereka “kecolongan” terhadap draft RUU Ketahanan Keluarga yang masih belum terlalu jelas ini. 

Lantas, apa itu ketahanan keluarga? Berdasarkan draft dari RUU ini, ketahanan keluarga merupakan kondisi dinamik keluarga dalam mengelola sumber daya fisik maupun non fisik dan mengelola masalah yang dihadapi untuk mencapai tujuan yaitu, keluarga berkualitas dan tangguh sebagai pondasi utama dalam mewujudkan Ketahanan Nasional.

Intinya, keluarga yang tangguh dalam menghadapi permasalahan akan membantu membentuk negara yang kuat. 

Sebenarnya, tujuan RUU Ketahanan Keluarga dapat dikategorikan baik karena pemerintah menunjukkan rasa perhatiannya terhadap keluarga.

Namun, apa pemerintah perlu mengatur ranah privasi masyarakat Indonesia? Terlebih lagi, negeri ini memiliki banyak masalah yang jauh lebih darurat dibandingkan mengurus ruang privasi keluarga. 

Sebagai anak bangsa, saya paham dan begitu yakin bahwa pemerintah ingin mendukung program ketahanan keluarga agar Indonesia bisa memiliki generasi penerus yang berkualitas.

Kita tahu bahwa semua pembelajaran bermula dari keluarga. Di dalam keluarga, kita belajar tentang adab, bahasa, norma-norma, nilai-nilai religius, bahkan sampai pada ideologi dan nilai-nilai luhur bangsa.

Ketika saya membaca dan mencoba memahami RUU Ketahanan Keluarga, saya merasa cukup aneh dengan beberapa pasal yang terkandung di dalam rancangan undang-undang ini. Salah satunya adalah pasal yang mengatur peran perempuan di dalam keluarga. 

Pasal 25,  Norak! masa istri wajib urus rumah tangga, ini tugas bersama!

Ada kata ‘wajib’ pada pasal ini, yang artinya harus dilakukan. Pada pasal ini disebutkan bahwa kewajiban seorang wanita sebagai istri antara lain (a) wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya, (b) menjaga keutuhan keluarga, serta (c) memenuhi hak-hak suami dan anak sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Sekilas, saya merasa tidak ada yang salah dengan pasal ini. Namun, pada pasal 25 a mengisyaratkan bahwa perempuan yang sudah berstatus sebagai istri seharusnya berdiam diri di rumah agar dapat mengurus rumah tangga dengan sebaik mungkin.

Saya sontak bertanya pada diri sendiri, kita ini sedang hidup di era sebelum Ibu Kartini berhasil memperjuangkan hak perempuan atau era globalisasi, ya? 

Sebagai seorang perempuan dan anak bangsa, saya merasa bahwa pemerintah terlalu ‘mendikte’ peran perempuan dalam keluarga.

Saya paham bahwa ini adalah bentuk kepedulian pemerintah terhadap ketahanan keluarga, yang nantinya akan membentuk ketahanan nasional. Akan tetapi, haruskah perempuan Indonesia mengalami kemunduran peran di negaranya sendiri? 

Masalahnya, kita tahu bahwa tidak semua perempuan bernasib beruntung. Banyak dari mereka yang harus bekerja ‘banting tulang’ dengan berbagai alasan yakni, bekerja karena suaminya sudah meninggal dunia, bercerai dan menjadi single parent. Bahkan, perempuan berstatus single pun harus bekerja menjadi ‘tulang punggung’ keluarga. 

“Budaya patriarki sudah tidak relevan dengan era globalisasi, karena sekarang zamannya budaya kolaborasi, terutama antara suami dan istri.”

Adapun bagi mereka yang masih memiliki suami, bukan berarti perempuan harus berdiam diri dan terpaku dengan hukum negara sendiri.

Budaya patriarki sudah tidak relevan dengan era globalisasi, karena sekarang zamannya budaya kolaborasi, terutama antara suami dan istri.

Tingginya biaya dan tuntutan hidup membuat pasangan suami istri (pasutri) jaman sekarang harus rela saling berbagi peran dan saling membantu dalam urusan ekonomi. Kalau wanita hanya diizinkan berdiam diri di rumah, lalu kemana perginya upaya penyetaraan gender di Indonesia? 

Padahal, Pengarusutamaan Gender dalam Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2020 sudah jelas. Seluruh jajaran pemerintah diminta untuk menyusun kebijakan dan program pembangunan nasional yang berperspektif gender.

Bukan cuma itu, salah satu tujuan SDGs Indonesia tahun 2030 adalah mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan. 

RUU Ketahanan Keluarga bikin berantakan keluarga

Dikutip dari H.A.L Hart, seorang filsuf dan ahli hukum mengatakan bahwa etika moral dan hukum sebaiknya dipisahkan. Pemisahan ini bertujuan agar baik etika moral dan hukum dapat saling mengoreksi satu sama lain. Jadi secara filosofis, RUU ini bermasalah karena terlalu mencampuradukkan etika moral dan hukum. 

Menurut Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia, RUU Ketahanan Keluarga juga memiliki masalah secara sosiologis. Beliau berpendapat bahwa substansi RUU ini tidak sesuai dengan fakta, realitas, serta pengalaman perempuan Indonesia.

“Substansi RUU ini (RUU Ketahanan Keluarga) tidak sesuai dengan fakta, realitas, serta pengalaman perempuan Indonesia.” Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia

Kenyataannya, perempuan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap perekonomian Indonesia. Mereka bukan hanya bekerja di sektor formal, namun juga sektor informal. Perempuan bekerja membantu perekonomian keluarga, bahkan tak sedikit dari mereka yang menjadi ‘tulang punggung’ keluarga. 

Secara yuridis, menurut saya RUU ini tidak konsisten terhadap peraturan lainnya. Kita ambil contoh, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2017. Peraturan Presiden ini menyatakan bahwa Indonesia siap berperan aktif untuk mencapai tujuan yang terkandung dalam SDGs atau pembangunan berkelanjutan di tahun 2030. 

Nah, salah satu tujuan SDGs adalah gender equality atau kesetaraan gender. Tujuan ini memiliki target untuk menghapus diskriminasi, kekerasan pada perempuan, bahkan menghapus kesan negatif “dapur, sumur, kasur” pada perempuan. Lantas kalau RUU ini berhasil disahkan, kemana perginya tujuan SDGs Indonesia? 

Secara tidak langsung, RUU ini menaruh rasa skeptis pada semua keluarga Indonesia bahwa setiap keluarga memiliki kerentanan yang tinggi terhadap gangguan luar.

Itulah mengapa negara berpikir untuk mengintervensi ruang privat keluarga, sampai-sampai  tindakan seksual privat antara laki-laki dan perempuan, pembagian kerja, pendidikan anak, dan lain sebagainya diatur dalam RUU ini.   

Sebagai anak bangsa, saya berharap pemerintah dapat lebih bijak dalam membuat keputusan dan kebijakan politik. Meskipun Indonesia adalah negara hukum, namun tak perlu lah kita menyatukan etika moral dan hukum.

Dengan demikian, saya berharap pemerintah menjadi lebih bijak dalam memilih RUU mana yang layak masuk Prolegnas.  Bantu kami menyelesaikan masalah substansial seperti, memenuhi kebutuhan kesehatan, pendidikan, pangan, dan lain sebagainya. Ajak kami untuk saling berdiskusi dan berkolaborasi, bukan saling mengintervensi. Cukup mantan saja yang berantakan, keluarga jangan!

 

Baca Juga  Gen Z Harus Melek Sustainable Development Goals (SDGs) dari Sekarang!

Bagikan