Di tengah pandemi Covid-19, ternyata ada yang lebih memprihatinkan dibandingkan dengan angka kasus positif corona yang semakin meningkat, jumlah PHK dan pengangguran yang semakin bertambah, dan perekonomian masyarakat rentan yang semakin terdampak oleh pandemi.
Hal yang lebih miris adalah ketika pemerintah justru mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) menjadi Undang-Undang (UU) dalam rapat paripurna yang digelar oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 12 Mei 2020.
UU Minerba Sah, Oligarki dapat Karpet Merah
Meskipun sudah disahkan, UU Minerba masih menuai polemik yang berkepanjangan dikarenakan hasil revisi dinilai ‘berat sebelah’ atau lebih memihak pada kepentingan oligarki. Karpet merah untuk para oligarki seakan terhampar lebar dan indah. Revisi UU Minerba seakan mencoreng janji dalam pembukaan UUD 1945 yang berbunyi:
“Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Serasa ada yang kurang dari pelaksanaan pembukaan UUD 1945 tersebut. Sumber Daya Alam (SDA) bukan lagi dipergunakan untuk kemakmuran rakyat, namun hanya untuk kemakmuran para elit dan oligarki. Berdasarkan data yang disimpulkan oleh gabungan organisasi masyarakat sipil yakni, Bersihkan Indonesia. Tercatat ada beberapa revisi pasal yang terkandung dalam isi UU Minerba yang sama sekali tidak menguntungkan masyarakat Indonesia. Bahkan, revisi pasal-pasal tersebut cenderung merusak SDA dan menguntungkan para oligarki yang terlibat di dalam bisnis pertambangan.
Terdapat beberapa deretan pasal kontroversial yang sangat menguntungkan para oligarki dan pemburu rente dalam kacamata ekonomi-politik. Pertama, Pasal 1 ayat (13a) yang mana disebutkan bahwa Surat Izin Penambangan Batuan (SIPB) diperlukan untuk melakukan usaha pertambangan pada jenis batuan tertentu. Banyaknya tahapan birokrasi sebenarnya bukan membuat tatanan perizinan pertambangan menjadi lebih teratur. Hal ini malah membuka gerbang yang lebar bagi para pemburu rente (rent-seeker).
Kepada siapa izin ini harus diajukan? Kemana uang dari perizinan tersebut dialirkan? Semuanya harus jelas. Jika tidak, tentu saja pasal ini akan menjadi sasaran ‘empuk’ para pemburu rente. Kedua, pasal 165 sudah dihilangkan, yang mana pasal ini sebelumnya berbunyi:
“Setiap orang yang mengeluarkan IUP, IPR, atau IUPK yang bertentangan dengan Undang-Undang ini dan menyalahgunakan kewenangannya diberi sanksi pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara dan denda paling banyak Rp200.000.000 (dua ratus juta rupiah)”.
Sayangnya, pasal ini sudah sirna dari UU Minerba. Padahal, adanya pasal ini saja pun masih terbilang sangat enteng apabila para pengusaha tambang hanya membayar denda sebesar Rp 200 juta, apalagi jika pasal ini ditiadakan? Hilangnya pasal ini dinilai keras dapat membuka peluang korupsi lebih luas. Bukan hanya itu, pasal 169A adalah pasal yang paling banyak diperbincangkan, karena pasal ini secara tidak langsung memberi jaminan yang kuat kepada para pengusaha tambang untuk melanjutkan usaha pertambangan mereka tanpa adanya lelang. Pasal ini berbunyi
“(1) KK dan PKP2B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 diberikan jaminan perpanjangan menjadi IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian setelah memenuhi persyaratan dengan ketentuan: a. kontrak/perjanjian yang belum memperoleh perpanjangan dijamin mendapatkan 2 (dua) kali perpanjangan dalam bentuk IUPK… paling lama 10 (sepuluh) tahun”.
Pasal ini dinilai sangat melindungi perusahaan minerba, dan tentunya praktik rent-seeking antara pengusaha dan birokrat (pegawai pemerintah) akan terus berlanjut demi menjaga hubungan baik antara keduanya untuk meraih situasi win-win.
Melihat banyaknya pasal-pasal yang kontroversial, organisasi masyarakat sipil tentunya tidak tinggal diam terhadap revisi UU Minerba tersebut. Pada 1 Juni 2020, telah berlangsung Sidang Paripurna Rakyat. Sidang Rakyat ini diadakan sebagai bentuk penolakan terhadap UU Minerba.
Terdapat 6 (enam) poin penting yang perlu digaris bawahi dari hasil keputusan Sidang Paripurna Rakyat. Pertama, menyatakan bahwa sidang paripurna DPR-RI pada tanggal 12 Mei 2020 tidak kuorum dan koruptif.
Kedua, menyatakan bahwa sidang paripurna DPR-RI pada tanggal 12 Mei 2020 curang karena memanfaatkan situasi pandemi Covid-19. Ketiga, UU Minerba adalah produk GAGAL dan ILEGAL serta dinyatakan BATAL demi hukum, atas nama kedaulatan rakyat dan demi keselamatan rakyat. Keempat, seluruh kontrak, perjanjian, dan izin yang diterbitkan berdasarkan undang-undang ini batal demi hukum.
Kelima, mengembalikan sepenuhnya hak ruang hidup pada rakyat dengan demikian rakyat memiliki hak veto untuk menyatakan tidak dan menolak kegiatan pertambangan. Keenam, negara, khususnya pemerintah, melakukan pemulihan atas kerugian yang telah dialami rakyat dan kerusakan lingkungan karena aktivitas pertambangan selama ini.
Fenomena Sexy Killers
Munculnya video sexy killers di platform YouTube pada 13 April 2019 sempat menggegerkan banyak orang. Video ini mendapat perhatian yang luar biasa dari banyak kalangan, tak terkecuali para generasi muda Indonesia. Banyak pemuda yang tadinya tidak begitu peduli terhadap kasus eksploitasi batubara, seakan mendapat informasi baru yang mengejutkan. Bahkan, banyak kelompok yang ingin bersikap ‘golput’ dalam Pemilihan Umum 2019 setelah tersebarnya fakta bahwa banyak orang-orang terdekat dari kedua calon masuk ke dalam jajaran penting di usaha pertambangan.
Generasi Penerus Jadi Tumbal Usaha Pertambangan
SDA yang semakin tergerus, lingkungan hidup yang kian lama semakin rusak. Bahkan, mata pencaharian para warga sekitar ikut terancam. Sawah-sawah mereka gagal panen karena lumpur dari sisa-sisa pertambangan merusak pertumbuhan padi dan tanaman lainnya. Ironisnya, galian bekas tambang menyisakan lubang-lubang besar yang berbahaya bagi orang-orang di sekitarnya, terutama anak-anak.
Dalam kurun waktu empat tahun (2014-2018), Data yang dimiliki Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menunjukkan sekitar 140 anak telah meninggal dunia akibat lubang-lubang tambang yang dibiarkan menganga tanpa adanya penutupan kembali. Masyarakat di sebanyak 12 Provinsi telah menjadi ‘tumbal’ akibat kelalaian perusahaan tambang yang tidak mereklamasi kembali lubang-lubang tersebut. Tercatat jumlah korban paling terbanyak di Bangka Belitung sekitar 57 orang dan 32 orang di Kalimantan Timur harus kehilangan nyawa akibat proyek pertambangan.
Menurut data yang dimiliki Organisasi Bersihkan Indonesia, setiap tahunnya tercatat 6.500 pemuda Indonesia yang meninggal akibat polusi CO2 yang dihasilkan oleh pertambangan batubara. Apabila kondisi ini terus dibiarkan, maka diprediksikan jumlah kematian dini akan terus meningkat hingga 15.700 orang per tahun. Tentunya, ini bukan jumlah yang kecil.
Refleksi Bersama
Kondisi seperti ini tidak akan selesai jika hanya menyalahkan pemerintah atau berharap akan ada perubahan sikap dari para oligarki yang ‘maruk’ dengan harta. Layaknya judul esai ini, “Ada uang di balik UU Minerba”, maka “Ada konsekuensi di balik semua keserakahan”.
Perlu menjadi bahan refleksi kita bersama bahwa para oligarki mungkin akan hidup dengan tenang, damai, dan bahagia atas pencapaian harta yang mereka dapatkan. Namun, apakah itu akan menjamin kebahagiaan anak dan cucu mereka di masa depan? Yang mungkin bagian dari keluarga mereka juga akan merasakan imbasnya kepahitan alam Indonesia yang semakin memburuk.
Boleh dibilang, usaha pertambangan memang salah satu sektor perekonomian yang paling bergengsi. Bekerja atau investasi di sektor ini akan sangat menggiurkan hasilnya. Ini juga perlu menjadi catatan dan bahan refleksi bagi para pemuda untuk tetap berani dalam menyuarakan pendapat mereka, baik di dalam NGO, organisasi sipil, atau media lainnya.
Berusaha untuk tidak menjadi bibit pemburu rente di masa kini dan masa depan, serta tetap mencintai dan menjaga lingkungan. Perubahan baik perlu dimulai dari diri sendiri untuk masa depan Indonesia yang lebih baik dan cerah.