5   +   4   =  
Bagikan

Sosial media kembali dihebohkan dengan dugaan pencatutan sepihak NIK warga Jakarta untuk pencalonan calon Gubernur-Wakil Gubernur melalui jalur independen. Dugaan pencatutan Nomor Induk Kependudukan (NIK) KTP secara sepihak itu viral di media sosial X (Twitter). Mereka protes karena tiba-tiba mereka dinyatakan mendukung pasangan calon kepala daerah perseorangan. Berbagai komentar warganet di sosial media menunjukkan bahwa mereka merasa tidak pernah memberikan dukungan kepada siapapun dan mereka juga tidak pernah merasa dihubungi oleh pihak KPU untuk melakukan verifikasi dukungan tersebut. Hal ini tentunya berkaitan dengan hasil kelayakan verifikasi dukungan  pasangan Dharma Pongrekun-Kun Wardana memenuhi syarat untuk maju sebagai pasangan calon independen di Pilkada DKI Jakarta. Hal ini diputuskan setelah KPU menggelar rapat pleno rekapitulasi hasil verifikasi faktual kedua. Polemik yang terjadi ini tentunya menjadi sebuah pertanyaan besar terkait “Siapa yang bertanggung jawab atas hal ini’?. Tentunya jika kita melihat kasus ini , maka akan ada 2 hal yang harus diperhatikan.

Pertama adalah mengenai keamanan data pribadi Masyarakat. Hal fundamental yang seharusnya menjadi perhatian adalah mengapa data pribadi seperti NIK seakan tak berharga. Ini bukan kali pertama penyalahgunaan data pribadi di Indonesia terjadi. Hal ini tentunya menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung selesai dikerjakan oleh pemerintah.  Jika kita merujuk pada UU Perlindungan data pribadi sudah sangat jelas bahwa Pengendali Data Pribadi (PDP) wajib bertanggung jawab atas pemrosesan data. Pengendali data dalam hal ini pihak yang menyimpan data, seperti perusahaan atau pemerintah, memiliki kewajiban untuk transparan dalam penggunaan data, mendapatkan izin pemilik sebelum memproses data, dan menjaga keamanan data agar terhindar dari kebocoran.

Dalam hal terkait permasalahan pencatutan NIK tersebut, maka Kementerian Dalam Negeri khususnya Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil menjadi salah satu pihak yang mendapat sorotan. Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri Teguh Setyabudi saat dihubungi, seperti dilansir Antara, Jumat (16/8/2024) mengatakan bahwa “Tidak ada kebocoran data, NIK seseorang bisa diperoleh dari berbagai cara, bisa secara benar maupun salah,”. Diungkapkan pula bahwa NIK KTP dapat diperoleh dengan berbagai macam cara, baik itu secara legal maupun ilegal. Kendati begitu, Teguh menegaskan kasus tersebut tak melibatkan pihaknya, baik secara institusi maupun perorangan. Tak hanya itu, Menteri Komunikasi dan Informasi juga memberika respons atas permasalahan ini. Beliau mengatakan bahwa KPU menjadi Lembaga yang berwenang memeriksa dugaan pencatutan NIK oleh calon perseorangan di pemilihan gubernur atau Pilgub Jakarta. Saling lempar bola panas kembali terjadi antar sesama pejabat dan Lembaga.

Baca Juga  Herd Immunity ala Indonesia Terserah!

Permasalahan kedua yang harus diperhatikan adalah “Bagaimana proses verifikasi yang dilakukan oleh KPU?”. Pertanyaan ini tentunya harus bisa dijawab dan dijelaskan secara transparan oleh KPU terkait proses verifikasi yang dilakukan. Alih-alih menjawab secara detail, KPU DKI Jakarta justru meminta masyarakat untuk segera melaporkan kepada Bawaslu terkait NIK KTP yang dicatut mendukung paslon independen untuk Pilkada Serentak 2024. Memang seharusnya dilakukan kolaborasi Bersama untuk menjaga proses Pilkada Serentak 2024 agar berjalan dengan baik. Namun, KPU sebagai Lembaga penyelenggara pemilu seharusnya bisa memberikan penjelasan secara detail permasalahan yang terjadi saat ini serta melakukan audit terhadap sistem verifikasi yang telah mereka lakukan. Sistem pelaporan pun juga harus dibuat dengan baik dan sistematis agar Masyarakat dapat mengetahui proses tindak lanjut dari laporan yang mereka buat. Jika hanya terdapat satu atau dua NIK yang tercatut bisa saja terjadi human error saat melakukan verifikasi. Namun jika ratusan bahkan ribuan NIK yang tercatatut, maka bukan tidak mungkin ada “Kejanggalan” yang terjadi dalam proses verifikasi yang dilakukan.

Melalui peristiwa ini kita kembali dipaparkan sebuah fakta akan betapa murahnya data pribadi Masyarakat serta proses demokrasi di Indonesia yang menunjukkan adanya potensi kemunduran dan carut-marutnya proses pelaksanaan Pemilu di Indonesia.


Bagikan