Corona Ancam Bonus Demografi di Indonesia – Warga Muda
Tidak terasa sudah dua bulan lebih masyarakat Indonesia harus menghadapi Pandemi COVID-19. Berdasarkan data valid dari corona.jakarta.go.id, jumlah kasus positif COVID-19 Nasional per 18 Mei 2020 mencapai total 18.010 kasus. Pandemi ini bukan hanya mengganggu kesehatan, tetapi juga menghambat laju perekonomian masyarakat.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 mencatat bahwa jumlah penduduk Indonesia yang bekerja di sektor informal ternyata lebih mendominasi dibandingkan mereka yang bekerja di sektor formal.
Per Agustus 2019, tercatat para pekerja Indonesia yang berusia 15 tahun ke atas berjumlah 126, 51 juta orang. Dari jumlah ini, 70,49 juta orang bekerja di sektor informal dan 56,02 juta merupakan para pekerja di sektor formal. Sejak jumlah kasus positif COVID-19 semakin meroket tajam, ruang gerak para pekerja di sektor informal menjadi semakin terbatas.
Pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di sejumlah kota membuat beberapa pekerja informal seperti pekerja lepas harian harus menghentikan segala aktivitas pekerjaan di luar rumah. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang harus membatalkan beberapa kontrak kerja karena situasi yang penuh dengan ketidakpastian.
Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan per 20 April 2020, tercatat 84.926 perusahaan dalam sektor formal yang harus merumahkan dan melakukan PHK terhadap 1.546.208 pekerjanya. Sementara itu dalam sektor informal, terdapat 31.444 perusahaan yang harus merumahkan karyawan mereka dan 538.385 orang telah terkena PHK. Dengan demikian, total perusahaan dari sektor formal dan informal yang harus mengambil keputusan PHK berjumlah 116.370 dengan total pekerja 2.084.593.
Kehadiran the new normal diiringi dengan the new poor
Pada artikel sebelumnya, saya pernah menulis tentang New Normal dan Pemuda Pasca COVID-19. Di mana hampir semua dari kita harus beradaptasi dengan kebiasaan-kebiasaan baru. Semula mungkin kebiasaan tersebut terasa asing atau hal yang tidak biasa. Namun, kehadiran pandemi COVID-19 telah memaksa kita semua untuk keluar dari zona nyaman, kebiasaan-kebiasaan yang sudah terbentuk berpuluh tahun lamanya. Kini, harus berubah dan mengikuti keadaan baru yang ada.
New Normal bukanlah keadaan yang sepenuhnya buruk. Banyak kalangan dan ilmuwan yang menyanjung hal ini. Mereka menganggap bahwa New Normal telah membawa manusia menuju masa depan dengan lebih cepat. Di masa depan, kita sering membayangkan bahwa segala hal akan dilakukan oleh teknologi. Banyak robot telah diciptakan, teknologi semakin ditingkatkan, dan lain sebagainya.
Inilah yang terjadi di masa pandemi sekarang. Profesi yang semula dianggap mustahil untuk dilakukan di rumah, kini hampir semua profesi dapat dilakukan di rumah dengan bantuan gadget, internet, dan teknologi lainnya. Mengagumkan memang. Sayangnya, fenomena New Normal belum bisa dipukul rata di Indonesia. Negara kita masih sibuk berkutat dengan masalah kemiskinan. Di pelosok negeri, masih banyak anak bangsa yang belum kenal apa itu internet, seperti apa bentuknya, bagaimana cara menggunakannya? Apalagi berbicara tentang New Normal.
Sedangkan para pemuda yang merantau di perkotaan, nasib mereka sedang terombang-ambing terhadap ketidakjelasan hidup. Mereka tidak mendapatkan jalan keluar untuk alternative income. Adapun beberapa dari mereka berhasil lolos seleksi kartu pra-kerja. Namun, kebijakan tersebut hanya membantu menyediakan konten keterampilan kepada mereka lengkap beserta sertifikatnya.
Padahal, mereka yang terkena PHK bukannya kekurangan keterampilan. Hanya saja, perusahaan mereka sudah tidak sanggup lagi mempekerjakan mereka di masa sulit seperti sekarang ini. Kondisi ini yang membuat banyak orang berpendapat bahwa kartu pra-kerja hanya layak untuk diimplementasikan dalam kondisi yang ideal, bukan di tengah pandemi.
Kedudukan demokrasi akan semakin terancam
Saya ingin mengutip pidato yang pernah disampaikan oleh Prof. Dr. Boediono. Isi pidatonya ini juga tertuang dalam Jurnal Keuangan Publik, Oktober 2008 Vol. 5(1), beliau memaparkan bahwa apabila masyarakat di suatu negara memiliki penghasilan yang rendah, maka peran demokrasi akan semakin tersingkirkan.
Logikanya, masyarakat akan fokus dalam memenuhi ‘kebutuhan perut’ mereka terlebih dahulu dibandingkan memberikan fokus dan perhatian lebih terhadap demokrasi. Itulah mengapa Prof. Dr. Boediono meyakini bahwa kebutuhan atau demand terhadap demokrasi akan melekat pada masyarakat dengan tingkat hidup (ekonomi) dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi.
Jika fenomena The New Poor terus berlangsung dalam waktu yang lama, atau pemerintah gagal dalam menerapkan kebijakan yang tepat dalam menyelamatkan kesehatan dan perekonomian negara, saya semakin khawatir. Saya khawatir jika kedudukan demokrasi di hati pemuda menjadi semakin tergeser. Singkatnya, bagaimana mereka mau memikirkan keutuhan demokrasi, kalau kesejahteraan mereka dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari saja masih sulit.
Bonus demografi atau bencana demografi?
Di banyak kesempatan, pemuda selalu menjadi bagian yang digembar-gemborkan akan membawa kemajuan ekonomi bagi Indonesia. Pada 22 Mei 2017, konferensi pers yang diadakan oleh Kementerian PPN (Bappenas) menyatakan bahwa Indonesia diproyeksi akan menyongsong bonus demografi pada 2030-2040. Bonus demografi adalah jumlah penduduk usia produktif (berusia 15-64 tahun) akan lebih mendominasi dibandingkan mereka yang belum berusia produktif (di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun).
Selama bonus demografi berlangsung, penduduk usia produktif diprediksi akan mencapai 64 persen dari total penduduk Indonesia yang diproyeksikan 297 juta jiwa. Membayangkan dampak positif dari bonus demografi memang menyenangkan. Namun, coba kita kesampingkan dulu angan-angan bonus demografi ini, karena apa yang ada dihadapan kita sekarang adalah coronavirus yang dapat menjadi ancaman kesehatan dan ekonomi bagi pemuda Indonesia.
Dari sisi kesehatan, virus ini bukan hanya mengancam orang lanjut usia (lansia), namun juga orang-orang berusia muda. Sementara itu dari segi ekonomi, fenomena PHK yang terjadi di puluhan ribu perusahaan mengancam nasib perekonomian pemuda saat ini dan masa depan. Akibatnya, The New Poor hadir di kalangan pemuda Indonesia. Kalau terus begini, kebijakan yang tidak tepat bukan membawa kita kepada bonus demografi, tapi mengarahkan kita menuju bencana demografi.
Akan tetapi, langit tak selamanya gelap. Peran pemuda yang tetap optimis akan masa depan bangsa Indonesia sangatlah diperlukan di tengah pandemi ini. Pertama, pemuda perlu menjadi pribadi yang lebih mandiri dalam mencari alternative income. Misalnya, menggeser sementara profesi kita untuk berjualan kebutuhan pokok atau bisnis makanan dan minuman. Setidaknya, pemuda tidak perlu menunggu ‘disuapin’ oleh kebijakan pemerintah yang tepat dalam membantu perekonomian mereka di masa yang sulit seperti ini.
Kedua, kemerdekaan Indonesia tercipta karena adanya semangat gotong-royong yang dibangun oleh sesama sejak zaman nenek moyang kita. Jikalau dahulu kita berhasil menang melawan penjajah, sekarang kita pasti bisa menang melawan COVID-19 ini bersama-sama. Kuncinya, disiplin! Disiplin mengikuti peraturan yang berlaku. Jangan bahayakan diri kita dan orang-orang tersayang dengan bersikap egois keluar rumah untuk hal yang tidak penting. Jangan memaksakan mudik, jika saat ini mudik hanya membawa bahaya bagi keluarga di kampung.
Ketiga, jadilah pemuda-pemudi yang waras dan rasional dalam menghadapi situasi pandemi. Situasi ini memang tidak mudah bagi kita semua. Namun sebagai generasi penerus yang menjadi harapan bangsa, tetaplah menjadi pemuda yang menebar kebaikan, bukan menyebarkan kebodohan.
Berhentilah melakukan prank atau hoax yang tidak penting, apalagi sampai merugikan orang banyak. Stop menyarankan hal-hal bodoh yang merugikan, terlebih lagi jika kamu adalah seorang influencer. Jadilah pemuda-pemudi yang waras, rasional, dan tentunya bermartabat. Jika mungkin sekarang kita tidak bisa berbuat banyak terhadap kebijakan di negeri ini, namun kita masih bisa mengontrol sikap dan tindakan dalam kebijakan diri sendiri.