7   +   5   =  
Bagikan

Resiliensi Keuangan Syariah di Tengah Pandemi-Warga Muda

Ramadhan kali ini tampak berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Tidak ada solat Tarawih karna Masjid ditutup, tidak ada kumpul bareng ketika bukber, tidak ada kehebohan sahur on the road, bahkan nampaknya tidak ada juga arus mudik lebaran yang selalu kita nanti tiap tahunnya. Hal ini dilakukan bukan tanpa sebab, penyebaran wabah Covid-19 di awal tahun ini membuat pemerintah memberlakukan aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sehingga banyak tempat umum yang dibatasi penggunaannya ataupun ditutup.

Tapi bukan berarti hal tersebut menjadi pemudar suka-cita nya bulan Ramadhan. Pada bulan yang berkah inilah kitab suci umat Muslim Al Quran diturunkan dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril. Hal ini disampaikan pada Surat Al-Baqarah ayat 185 “Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)”. Turunnya Al Quran ditandai sebagai acuan ilmu dan pengetahuan, sebagai penunjuk jalan kehidupan sekaligus sebagai norma untuk berpijak.

Dalam Al Quran juga dituliskan berbagai macam aturan untuk manusia dalam berhubungan dengan Tuhan Nya (Aqidah), berhubungan dengan dirinya (Akhlak) dan juga bagaimana berhubungan dengan manusia lainnya (Muamalah). Di dalam Fiqh Muamalah sendiri, seluruh kehidupan sosial manusia telah diatur dengan keadilan dan keseimbangan dimana beberapa cabang disiplin ilmu tersebut seperti politik, kriminologi, pernikahan dan salah satu ilmu yang menurut penulis sangatlah complex yakni ekonomi.

Hadirnya Ekonomi dengan prinsip Islam juga tidaklah lepas dari salah satu tujuan utama Syariah (Maqashid Sharia) yakni menjaga harta (Hifdz al-Mal). Dalam Al-Quran Surat Al-Anbiya ayat 107 dijelaskan “Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Nabi Muhammad SAW), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.  Kehadiran Nabi Muhammad SAW menjadi tanda bahwa Islam hadir sebagai pesan kebaikan ke seluruh semesta, tidak terkecuali hadirnya ekonomi yang berasaskan nilai-nilai Islam.

Stimulus untuk Menjaga Ekonomi Negeri

Saat ini dunia dihadapi krisis kesehatan dimana wabah Covid-19 menyebar ke lebih dari 200 negara dengan jutaan korban meninggal dunia. Krisis kesehatan mendorong pemerintah di banyak negara membuat kebijakan lockdown ataupun social distancing. Tentunya kebijakan ini mempunyai “harga” yang sangat mahal pada aktivitas ekonomi global maupun dalam negeri.

Pemerintah Indonesia memilih kebijakan PSBB serta seruan untuk lebih banyak beraktivitas di rumah dimana hal tersebut membuat ekonomi Indonesia terkontraksi cukup dalam. Pada kuartal 1-2020, pertumbuhan ekonomi anjlok hingga 2,97% dimana di tahun sebelumnya tercatat stabil di level 5,07%. Pertumbuhan tersebut merupakan yang terburuk dalam 15 tahun terakhir, padahal penyebaran wabah Covid-19 baru beberapa bulan terjadi. Dengan trend peningkatan kasus Covid-19 sampai saat ini, sangat dimungkinkan pertumbuhan ekonomi di kuartal berikutnya akan lebih rendah lagi.

Baca Juga  Diaspora dan Indonesia Emas 2045

Perlambatan pertumbuhan tersebut jelas menjadi sinyal negatif bagi ekonomi riil dikarenakan banyak usaha yang tidak bisa beroperasi secara normal. Guncangan tersebut tidak hanya dirasakan oleh dunia usaha, tapi banyak pegawai yang sudah dirumahkan dimana menurut Kementrian Ketenagakerjaan sampai awal Mei 2020 jumlah pekerja yang terkena pemutusan kontrak mencapai lebih dari 1,7 juta orang.

Realisasi tersebut membuat pemerintah terus meningkatkan kewaspadaan. Pemerintah merespon dengan mengeluarkan Perppu Nomor 1 tahun 2020 yang mengatur tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas keuangan dalam menangani pandemi Covid-19 yang dimana saat ini telah disetujui oleh DPR menjadi Undang-Undang (UU). Kebijakan ini secara umum memberi kedalaman ruang fiskal bagi pemerintah dalam menghimpun, mengubah maupun menyalurkan anggaran, memperluas ruang moneter bagi Bank Indonesia, memberi kewenangan lebih pada OJK untuk memperkuat struktur lembaga keuangan dan juga langkah-langkah lainnya dalam menjaga stabilitas sistem keuangan nasional.

Hal yang menarik untuk ditindaklanjuti adalah bagaimana pemerintah merespon kebijakan dalam penanggulangan dampak Covid-19. UU pertama yang disetujui bukan terkait peningkatan kualitas SDM seperti jargon awal tahun ini ataupun bukan juga dalam pembangunan infrastrukur yang selalu diserukan dalam beberapa tahun kebelakang, tetapi UU pertama yang disetujui untuk menanggulangi dampak pandemi Covid-19 adalah mengenai stabilitas sistem keuangan.

Finance is The Lifeblood of Economy

Sektor keuangan dan ekonomi merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Mari kembali ke konsep dasar ekonomi yaitu supply dan demand dimana pada titik equilibrium akan tercipta sebuah harga pada nilai yang optimal. Dan tentunya harga ini akan dikonversikan menjadi sebuah alat pembayaran, yakni uang. Pada konsep uang, perjalanan dalam menemukan suatu nilai cukup variatif. Bermula dari ketidakjelasan nilai dalam bertransaksi barter, ketidaknyamanan bertransaksi menggunakan alat tukar seperti garam maupun logam mulia lainnya, hingga perjanjian bretton woods dimana nilai emas tidak bisa lagi mengimbangi laju volume uang yang beredar.

Dengan diterapkan sistem fiat money, jumlah uang yang beredar dapat diatur sesuai dengan kebutuhan dengan berbagai instrumen moneter untuk pembangunan negara. Perdagangan mata uang antar negara pun menjadi lebih terbuka dikarenakan sistem yang lebih terbuka. Tapi dalam sistem seperti ini, volatilitas nilai tukar menjadi sangat tinggi karena pada dasarnya uang yang di edarkan mempunyai nilai yang bias. Bayangkan dengan jenis instrumen yang sama, uang dengan tulisan Rp100.000 mempunyai nilai 100x lebih besar dari uang dengan tulisan Rp1.000, isn’t it weird?

Bank Sentral sebagai regulator bidang moneter mempunyai kewenangan untuk menjaga nilai uang yang beredar. Dengan nilai yang terjaga, kepercayaan masyarakat pada alat tukar tersebut pun juga terjaga sehingga harga akan stabil pada nilai yang optimal dan ekonomi akan tetap berputar. Dengan demikian, konsep tersebut menempatkan bahwa ekonomi saat ini berbasis kepercayaan dimana aktivitas supply dan demand dapat di pengaruhi oleh nilai dari sebuah harga.

Baca Juga  Anak Muda dan Entrepreneurship : Membangun Masa Depan yang Berpengaruh

Islamic Finance as The Backbone of Economy

Jika di sistem keuangan modern mempunyai Bank Sentral dalam menjaga stabilitas ekonomi, pada zaman sahabat Umar Bin Khattab RA telah dibangun Baytul Mal yakni institusi yang saat itu mengelola dana umat. Secara umum, institusi ini bertugas untuk menghimpun dan menyalurkan dana zakat masyarakat dengan prinsip melindungi hak dari 8 asnaf sehingga angka kemiskinan maupun kesenjangan dapat ditekan. Institusi ini juga mengelola dana wakaf masyarakat yang ditujukkan untuk pembangunan negara dimana banyak infrastruktur yang dibangun melalui dana tersebut. Salah satu wakaf paling terkenal yang kebermanfaatannya masih dinikmati sampai sekarang adalah sumur dari sahabat Utsman Bin Affan RA.

Kewenangan lainnya Baytul Mal adalah dengan menjadi pengawas di pasar untuk menegakkan hukum Allah SWT. Dalam kaidah Fiqh Muamalah disebutkan “Segala transaksi diperbolehkan kecuali ada dalil yang mengharamkan”. Hal ini menunjukkan segala praktik bisnis seperti jual-beli (Bai’), sewa-menyewa (Ijarah) maupun bagi hasil (Syirkah) diperbolehkan dan akan dalam pengawasan pemerintah. Adapun secara umum ada empat hal yang dilarang dalam Syariah yakni bunga (Riba), ketidakpastian (Gharar), judi (Maysir), dan transaksi lainnya dengan barang yang dikategorikan Haram. Penerapan praktik bisnis tersebut secara tidak langsung membebaskan pasar untuk bergerak secara optimal dan adil.

Konsep tersebut menunjukkan sistem ekonomi yang berbasis hukum Allah SWT telah dilakukan secara adil dan seimbang sejak beratus tahun yang lalu. Tentunya salah satu keunggulan nilai Syariah adalah agility terhadap perubahan zaman. Pada sistem keuangan modern saat ini, sistem keuangan Syariah tetap hadir dalam beberapa sektor industri seperti perbankan Syariah, pasar modal Syariah, maupun sektor keuangan lainnya dimana tetap menjunjung nilai keadilan dan keseimbangan.

Ketahanan Struktur Keuangan Syariah

Dampak dari wabah Covid-19 jelas tidak memandang industri keuangan konvensional atau Syariah. Perbankan merupakan salah satu industri yang terdampak cukup berat. Hampir seluruh Bank Sentral di dunia menurunkan suku bunga acuan dan melakukan program pinjaman likuiditas jangka pendek maupun panjang sebagai stimulus moneter agar fungsi intermediary perbankan tetap berjalan di tengah pandemi.

Baca Juga  Akselerasi Teknologi di Tengah Pandemi

Menghadapi badai tersebut, perbankan Syariah tetap berusaha untuk beridiri tegak dengan struktur sistem bank yang terbilang unik. Dengan prinsip bagi hasil, penurunan pendapatan pada aset yang terdampak pandemi akan secara natural diimbangkan dengan penurunan bagi hasil di sisi liabilitas sehingga terdapat natural hedging pada sisi laba-rugi perbankan Syariah. Prinsip tersebut menunjukkan pada dasarnya perubahan suku bunga acuan tidak terlalu berpengaruh pada sistem perbankan Syariah karena pendapatan yang didapat maupun di bagikan pada pemegang dana berdasarkan aktivitas ekonomi riil.

Pada sektor keuangan lainnya yakni pasar modal, pandemi Covid-19 mengguncang pasar modal Indonesia dengan penurunan nilai kapitalisasi hingga lebih dari dua ribu triliun Rupiah. Tetapi melihat rata-rata nilai transaksi yang turun sekitar 5% dari awal tahun, saham-saham Syariah mempunyai kecenderungan untuk di-hold daripada di dagangkan. Dari sisi valuasi pun terlihat dengan kinerja indeks ISSI yang lebih baik dari IHSG pada masa pandemi ini. Hal tersebut menunjukkan terdapat confidence pada saham-saham Syariah ketika volatilitas begitu tinggi.

Pasar modal pada dasarnya mempunya nilai intrinsik yang sesuai dengan nilai Syariah seperti prinsip keterbukaan dan sistem Syirkah. Tetapi ada beberapa aturan lainnya yang ditetapkan oleh regulator agar suatu emiten dapat dikategorikan saham Syariah seperti kegiatan usaha yang sesuai prinsip Syariah dan pemenuhan beberapa rasio yang menunjukkan aset perusahaan di dukung oleh permodalan yang kuat. Hal ini secara tidak langsung meningkatkan kepercayaan investor terhadap emiten dengan kategori Syariah.

Selain commercial finance, salah satu prinsip utama keuangan Syariah adalah social finance pada unsur zakat, infaq, sadaqah dan wakaf (ZISWAF). Selayaknya Baytul Mal, kondisi saat ini membutuhkan koordinasi donasi dan bantuan sosial yang terintegrasi dengan baik. Mengutip riset Nielsen, donasi menjadi salah satu perubahan perilaku online yang meningkat pesat di masa pandemi. Hal ini menjadi sinyal bagi pelaku industri jika ZISWAF dapat menjadi salah satu instrumen fiskal terbaik pada saat krisis ekonomi seperti saat ini.

Dengan potensi Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, sudah seharusnya keuangan Syariah mempunyai peran yang signifikan di industri. Pandemi ini telah menunjukkan jika tingkat resiliensi sistem keuangan Syariah cukup tinggi dimana hal ini berpengaruh positif pada ekonomi negeri. Semoga kita semua tetap dalam lindungan Allah SWT, niscaya di dalam segala kesulitan akan selalu diiringi kemudahan (QS: Al-Insyirah: 5-6).

Muhammad Hamal Musito  adalah Corporate Planning Officer, BNI Syariah.


Bagikan