Tidak Semua Orang Bule Pintar – Warga Muda
Pernahkah kalian merasa ketika melihat orang Bule (kulit putih), kalian merasa ada aura yang berbeda. Kalian merasa bahwa ada sesuatu yang berbeda bahwa orang bule itu kelihatan serba lebih dibanding kita orang kulit kuning atau asia ini.
kita merasa bahwa orang bule cenderung lebih bagus rupa atau cantik/ganteng, lebih Pintar, lebih bagus bandannya, lebih menyenangkan.
Belum lagi kelebihan – kelebihan ini di dukung oleh stigma di masyarakat kita mengenai orang bule biasanya lebih banyak uang, bisa memperbaiki keturunan, memiliki wajah blasteran adalah idaman, dan masih banyak lagi.
Bahkan saya memiliki cerita menarik yang saya sangat ingat, waktu jaman awal – awal kuliah sekitar tahun 2008, saya den teman saya ingin pergi ke Kota Bandung dengan ongkos pas -pasan demi menengok teman SMA kami yang kuliah disana, walhasil saya dan teman saya memutuskan untuk pergi menggunakan kereta api ekonomi bukan Argo Parahiangan yang Hedon itu yah tetapi kereta ekonomi dari stasiun Senen.
Singkatnya sesampai di sana kami melihat segerombolan bule lengkap dengan tas carrier besar, kalian pasti bisa tebak ini adalah bule “backpacker”, kebingungan mencari peron, di tahun itu stasiun senen masih cukup “Bronx” tidak teratur seperti saat ini.
Kami tentunya sebagai mahasiswa muda yah yang kurang lebih memiliki kemampuan bahasa Inggris lumayan hasil les di LIA, mencoba memberikan bantuan, dan ternyata mereka mau ke tujuan yang sama dengan kita ke Kota Kembang.
Yang menarik sebenarnya adalah warga sekitar dan seisi dalam gerbong pada saat itu sebenarnya, begitu orang – orang merasa seperti ada orang asing (lah emang) dari planet lain, begitu aneh dan tersenyum jika dilihat atau melihat, bahkan saya ingat betul ada seorang bapak dengan keluarganya, mencuri – curi hanya ingin memegang tangan si bule tersebut dan bercerita kepada anaknya (mungkin ini mengapa orang bule suka mempersepsikan kita sebagai orang yang ramah).
Inferiorities complex adalah kita
Dari semua itu, Inilah yang disebut sebagai inferiorities complex yang jika mengutip halaman Wikipedia (biar gampang) adalah perasaan tidak memenuhi standar, keraguan dan ketidakpastian tentang diri sendiri, dan kurangnya harga diri.
Sering kali di alam bawah sadar dan dianggap mendorong individu yang menderita untuk memberikan kompensasi yang berlebihan, menghasilkan pencapaian yang spektakuler atau perilaku yang sangat asosial (Wikipedia, 2020) bingung?
Iyalah diterjemahkan Google Translate. Intinya adalah adalah penderita perasaan ini merasa bahawa ia tidak lebih baik dari orang lain atau suatu kaum.
Kita sebagai warga Indonesia banyak mengalami hal ini bukan karena kita yang bodoh dan orang bule yang benar pintar, tetapi sejarah panjang dunia ini dan pola sosialisasi selanjutnya dilepaskan dari generasi ke generasi.
Coba bayangkan berapa lama orang bule ada di Indonesia dan melakukan eksploitasi terhadap negara kita? Atau bahkan kalo mau dibilang orang – orang bule inilah yang membentuk Indonesia. Panjang lagi kalo cerita soal sejarah penjajahan.
Nah dari sini kita sudah mulai paham apa yang kita rasakan, sekarang mari kita renungkan bahwa “penyakit” ini kita derita sekian lama, dan masih berlanjut hingga saat ini.
Dan kalo kata warganet saat ini penulis “hanya ingin mengingatkan “ bahwa perasaan harus segera dimusnahkan dari pikiran kita dan lubuk hati yang terdalam. Percaya atau tidak perasaan ini menghambat kita menjadi negara manusia maju.
Lebih fasih berbahasa Inggris bukan berarti lebih pintar
Sekarang, pengalaman saya pada saat bekerja di perusahaan multinational mengajarkan hal demikian, bahwa TIDAK SEMUA ORANG BULE PINTAR, atau serba lebih sebagaimana persepsi kita.
Memang di awal saya bekerja “penyakit” ini masih menjangkit di dalam diri, merasa bos bule saya pasti tau segalanya dan lebih pintar, atau orang Head Office saya di luar sana akan bisa memberikan solusi dari masalah yang kita hadapi disini dengan kepintarannya.
Namun tidak demikian mereka layaknya seperti kita tidak tau segalanya dan terkadang malah tidak pintar – pintar amat, bahkan terkadang untuk hal simple saja sulit mereka untuk bisa mengerti.
Mereka jago memang dalam satu hal pastinya yakni dalam berbahasa Inggris (karena Bahasa Universal) sehingga bisa mengatikulasikan pikiran mereka dengan lebih baik, namun hal ini bukan berarti mereka lebih pintar bukan.
Hal lain pula yang ingin saya sampaikan, saat ini jika kita lihat dipasar tenaga kerja global posisi bule sudah banyak tergeser dengan ras – ras kulit kuning lainnya seperti dari China (ini termasuk Hongkong Taiwan Singapura) dan India baik asli maupun peranakan (atau imigran) coba liat beberapa CEO perusahaan – perusahaan dunia saat ini jika dilihat dari ras mereka.
Nah hal ini membuktikan bahwa warna kulit atau ras tidak lagi menjadi faktor determinasi utama kesuksesan seseorang.
Oleh karena itu kita sebagai orang Indonesia sudah saatnya membuang jauh – jauh “penyakit” itu dan mulai mengasah diri untuk berkompetisi dan menjadi maju.
Dana Agriawan adalah seorang pekerja perusahaan multinasional di bidang perbankan yang menyukai kajian filsafat dan politik.