Merdeka! Setiap insan pasti ingin menjadi individu yang merdeka. Merdeka untuk hidup, berbicara, berpikir, bahkan belajar. Namun, menjadi manusia yang bebas untuk hidup, berbicara, dan berpikir saja tidak cukup, kawan! Seperti yang pernah dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara, manusia yang hidup perlu mendapatkan ilmu. Mengapa begitu? Karena ilmu akan membentuk kita menjadi insan yang mulia.
“Dengan Ilmu Kita Menuju Kemuliaan”- Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia
Maknanya, kita semua tanpa terkecuali, memerlukan ilmu untuk bisa menjadi manusia yang mulia. Hal ini termaktub dengan jelas di dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28C ayat 1, yang berbunyi:
“Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”.
UUD tersebut mengindikasikan dengan jelas bahwa setiap warga negara Indonesia, tanpa terkecuali berhak mendapatkan pendidikan. Seiring berjalannya waktu, kebijakan dan peraturan pendidikan berubah mengikuti perkembangan zaman. Perkembangan ini tidak terlepas dari sosok Menteri Pendidikan dan Kebudayaan periode 2019-2024, Nadiem Makarim. Dalam upaya meningkatkan mutu kualitas pendidikan Indonesia, Nadiem membuat suatu gebrakan yang cukup mengejutkan dunia pendidikan yaitu, menghapus Ujian Nasional (UN).
Pada 11 Desember 2019 lalu, Nadiem menjelaskan empat program pembelajaran nasional dalam acara Rapat Koordinasi bersama Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota di Jakarta. Keempat program tersebut merupakan kebijakan pendidikan nasional yang disebut sebagai “Merdeka Belajar”.
Menurut Nadiem, program Merdeka Belajar adalah satu kata kunci yang menjadikan call to action untuk masyarakat, para guru, kepala sekolah, orang tua, companies. Agar kita dapat meredefinisi apa culture yang tepat dan merdeka di dalam unit pendidikan. Lalu, apa saja isi dari program Merdeka Belajar?
1. Ujian Sekolah Berbasis Nasional (USBN) diganti menjadi penilaian yang lebih komprehensif
Pada 2020 ini, USBN akan diadakan oleh masing-masing sekolah dengan sistem penilaian yang lebih komprehensif. USBN ini bertujuan untuk menilai kompetensi pelajar dan diselenggarakan dalam bentuk portofolio, penugasan, atau tes tertulis. Nantinya, portofolio dapat dikerjakan sebagai tugas kelompok, karya tulis, dan lain sebagainya.
Dengan adanya pelaksanaan USBN yang lebih komprehensif, guru dan sekolah akan lebih leluasa atau merdeka dalam menilai hasil kerja para siswanya.
2. Ujian Nasional (UN) 2020 akan menjadi UN terakhir di Indonesia
Sebelum pembatalan UN 2020 akibat kasus penyebaran COVID-19 yang semakin parah, Nadiem Makarim telah mengumumkan bahwa UN 2020 adalah ujian terakhir dan akan ditiadakan di tahun 2021 mendatang. Di tahun depan, UN akan diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter yang terdiri dari kemampuan bernalar dengan menggunakan bahasa (literasi), matematika (numerasi), dan pendidikan karakter.
Selain itu, Nadiem juga menjelaskan bahwa kebijakan ini mengarah pada praktik baik di level internasional seperti, Programme for International Students Assessment (PISA) dan The Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS).
3. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dipersingkat, guru dapat mengevaluasi proses pembelajaran dengan lebih mantap
Kebijakan ini bertujuan agar para guru dapat memiliki waktu lebih untuk mengevaluasi proses pembelajaran. Selama ini, pembuatan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) cukup membuang waktu para guru, karena terlalu banyak komponen yang harus disertakan dalam RPP. Sekarang, guru hanya diminta untuk membuat RPP dalam satu halaman saja. RPP yang dibuat secara singkat, padat, dan jelas akan membantu para guru dalam bekerja secara lebih efektif dan efisien.
4. Zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) menjadi lebih fleksibel
Sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 14 Tahun 2018, sistem zonasi adalah suatu sistem yang mengatur proses penerimaan siswa baru sesuai dengan wilayah tempat tinggal. Dengan kata lain, jika kamu berdomisili di Bogor, kamu dianjurkan untuk mendaftar dan bersekolah di wilayah Bogor saja.
Akan tetapi dalam program Merdeka Belajar ini, Nadiem menjelaskan bahwa sistem zonasi PPDB tetap diberlakukan, hanya saja menjadi lebih fleksibel. Hal ini bertujuan agar ketimpangan akses dan kualitas pendidikan di berbagai daerah dapat terakomodasi.
Komposisi PPDB jalur zonasi dapat menerima minimal 50 persen siswa, minimal 15 persen jalur afirmasi, dan maksimal 5 persen jalur perpindahan. Sisanya, 0-30 persen melalui jalur prestasi yang disesuaikan dengan kondisi daerah. Dalam hal ini, daerah berwenang menentukan proporsi final dan menetapkan wilayah zonasi.
Harapan seorang Nadiem sebagai Mendikbud adalah pendidikan Indonesia dapat menciptakan culture of innovation dan culture of learning seperti yang dikatakannya berikut ini:
“Culture of innovation dan culture of learning adalah punya orang-orang yang mempunyai growth mindset. Itu sebenarnya objective dari sistem pendidikan kita. Untuk menciptakan anak-anak yang memiliki growth mindset, apapun passion dia” – Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Dari pemaparan program Merdeka Belajar di atas, setidaknya ada dua pertanyaan yang hadir di kepala saya. Pertama, sudahkah semua anak bangsa memiliki kemerdekaan untuk belajar? Kedua, sudahkah kita benar-benar menyelesaikan masalah pendidikan Indonesia?
Menurut saya, kita masih belum berhasil membidik akar masalah pendidikan yang sebenarnya harus diselesaikan terlebih dahulu. Hal ini terbukti dari masih banyaknya anak-anak pedalaman di pelosok negeri yang masih belum mendapatkan pendidikan yang layak seperti kita di kota.
Pada artikel ini, saya ingin menceritakan salah satu kisah perjuangan siswa-siswi di Kampung Kondo, Merauke, Papua Barat. Foto ini spesial saya dapatkan dari teman saya sebagai penggiat isu-isu pendidikan dan perempuan. Kontribusi beliau sangat tinggi dalam upaya penyetaraan pendidikan di luar maupun dalam negeri. Beberapa wilayah di Indonesia yang sudah ia kunjungi adalah Aceh, Kalimantan, Yogyakarta, dan Papua Barat.
Di Kampung Kondo ini, anak-anak di sana harus rela untuk sekolah di malam hari. Tidak ada waktu bagi mereka untuk mengenyam bangku pendidikan di pagi hari. Mengapa? Karena pagi hari adalah waktu bagi mereka untuk mencari ikan atau melakukan pekerjaan lainnya yang dapat membantu keluarga mereka bertahan hidup.
Di malam hari, mereka belajar dengan fasilitas seadanya. Untuk mendapatkan penerangan, mereka hanya dibantu dengan lampu penerangan ala kadarnya yaitu, lampu petromaks dan beberapa lampu belajar.
Melihat situasi dan kondisi seperti ini, mana mungkin mereka bisa mengenal apa itu teknologi, apalagi memikirkan tentang inovasi. Mereka dilema, jika mereka tidak bekerja di pagi hari, maka mereka dan keluarga tidak dapat makan. Sedangkan, malam hari bukanlah waktu yang tepat untuk anak-anak belajar dengan penerangan sederhana seperti itu.
Ini yang menjadi ketakutan besar bagi saya. Hal ini juga lah yang membuat saya harus mengatakan bahwa kebijakan dan program pendidikan di Indonesia masih belum membidik akar permasalahan yang sebenarnya. Indonesia bukan hanya kepulauan Jawa. Indonesia bukan hanya kota-kota besar seperti, Jakarta. Tugas kita semua masih banyak dan besar, terutama tugas pemerintah untuk menjamin masa depan mereka..
Jangan bicara tentang Industri 4.0, jika lampu saja masih terbatas di Papua Barat. Jangan bicara tentang PISA dan TIMSS, jika kesempatan belajar saja hanya dapat dilakukan di malam hari.
Foto: Siswa dan siswi di Kampung Kondo Merauke, Papua Barat, 2019
Kembali lagi saya tegaskan bahwa fenomena ini seharusnya mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah, terutama untuk menyelesaikan akar permasalahan pendidikan di Indonesia. Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab IV Pasal 5 ayat 1 dan 3, yaitu:
Ayat kesatu, “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Ayat ketiga, “Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus”.
Kedua ayat tersebut sangat cocok untuk menggambarkan situasi ini. Sambil pemerintah membenahi permasalahan pendidikan, generasi muda juga harus mulai bergerak serentak mulai dari sekarang. Pesan untuk pemuda dan Gen Z, kita semua harus banyak-banyak bersyukur. Tidak semua anak bangsa memiliki privilege atau hak istimewa seperti yang kita miliki untuk belajar. Tidak semua dari kita memiliki kehidupan yang nyaman dan mudah, sehingga dapat belajar dengan tenang.
Jika kamu masih bisa mendapatkan kehidupan yang layak dan akses pendidikan yang mudah, bersyukurlah! Gunakan kesempatan itu dengan sebaik mungkin. Yuk, bersama-sama kita semangat menyongsong masa depan Indonesia yang lebih cerah, cukup masa lalu bersama mantan saja yang kelam.