10   +   8   =  
Bagikan

Politisasi SARA menghantui kita. Padahal etnis, ras, dan kebangsaan adalah bentuk dari identitas kultural. Ketiga unsur tersebut tidak terbentuk secara alamiah tetapi dibentuk secara sosial dan kultural oleh interaksi di dalam masyarakat. Identitas bukanlah sesuatu yang “final” dan “mutlak”, identitas sering berubah-ubah mengikuti dinamika politik pada suatu wilayah.

Begitupun di Indonesia; etnis, ras, dan kebangsaan merupakan “titik simpul” bagi konflik dan kohesi sosial masyarakat Indonesia.

Bila merujuk ke belakang, diskursus Darwinisme yang paling bertanggungjawab atas lahirnya konsep tentang ras. Dalam pandangan Darwinis, ras merujuk pada karakteristik biologis yang membedakan “jenis-jenis manusia” dan paling menonjol adalah pigmentasi warna kulit.

Perbedaan warna kulit ini yang sering kali digunakan secara jahat untuk menilai inteligensi dan kapabilitas kelompok-kelompok di dalam masyarakat. Klasifikasi sosial yang berakar dari rasisme selalu membuahkan stratifikasi dan heirarki sosial.

Ras adalah suatu konstruksi sosial maka dari itu rasialisasi bukan suatu kategori universal biologis. Ras lebih melekat dengan praktik kekuasaan politik. Oleh karenanya, unggul atau tidaknya ras yang satu dengan yang lainnya lebih ditentukan oleh politik, bukan takdir.

Di Indonesia, terbentuknya persepsi terhadap ras merupakan manifestasi dari stigma dan stereotip yang dilestarikan oleh lembaga pendidikan, perusahaan, dan media. Kecanduan masyarakat terhadap hagemoni “kulit putih”, membuat “kulit hitam” secara struktural maupun simbolis menempati posisi subordinat.

Misalnya, diskriminasi masyarakat “kulit hitam” sering terjadi di dalam pasar tenaga kerja, kelompok ini selalu diidentikan dengan pekerjaan yang tidak terlalu menggunakan keterampilan. Tanpa disadari, anggapan semacam ini yang selalu membuat mereka mendapatkan upah atau kesempatan kerja yang lebih rendah ketimbang lainnya.

Dalam kasus ini, dapat menjelaskan bahwa kategorisasi ras selalu mengarahkan pada tindakan rasis yang berbentuk marjinalisasi politik dan diskriminasi ekonomi. Namun, representasi ras dapat berubah dan diperjuangkan secara politik bagi kelompok-kelompok yang ingin merubah keadaan dan mewujudkan kesetaraan. Karena sejatinya warna kulit tidak berkaitan sama sekali dengan kualitas kemanusiaan dari seseorang.

Baca Juga  Politik Anak Muda Dijerat Negara Orang Tua

Politisasi SARA, Etnis yang Terpolitisasi

Menurut Chris Barker, dalam buku Cultural Studies (2000), etnis adalah konsep kultural yang terpusat pada kesamaan norma, nilai, kepercayaan, simbol, dan praktik kultural. Etnis dibentuk oleh masyarakat melalui ikatan primordial dengan mengidentifikasikan diri pada identitas dan simbol etnis terkait.

Etnis bukan soal perbedaan kultural tetapi lebih kepada pembentukan sekat-sekat dan teritorial kebudayaan dalam membuat perbedaan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya.

Etnis dapat digunakan dalam diskursus multikulturalisme untuk menciptakan formasi sosial yang setara ketimbang ide rasial yang hierarkis. Karena etnis terbentuk melalui relasi kekuasaan antar berbagai kelompok, dengan demikian, perbedaan dalam etnis tidak menghadirkan kategorisasi kelompok masyarakat yang “lebih baik” atau “lebih buruk”.

Maka menjadi berbahaya jika dalam suatu wilayah istilah “etnis pendatang” dan “etnis asli” muncul. Karena dapat dipastikan, istilah tersebut hanya mempertajam polarisasi dan friksi di tengah masyarakat.

Harmonisasi etnis sering kali dirusak oleh proses mobilisasi politik ketimbang faktor perbedaan kebudayaan antar etnis. Situasi disharmorni antaretnis sering terjadi pada momentum pemilu maupun pilkada atau, karena masih ada politisi atau konsultan politik yang menjadikan etnis sebagai bahan bakar mesin politik.

Polisasi Sara, kebangsaan sebagai teknologi politik

Ras dan etnis bertalian erat dengan identitas kebangsaan. Kebangsaan bukanlah entitas atau konsep yang statis melainkan dikonstruksi oleh operasi diskursus dan makna yang berubah pada setiap level sosial yang berbeda.

Menurut Ben Aderson dalam Imagined Community (1983), bangsa adalah suatu komunitas yang terbayangkan dan identitas nasional adalah konstruksi yang diracik melalui simbol dan ritual dalam kaitannya dengan teritorial dan administratif. Dapat dikatakan, berarti indentitas kebangsaan secara intristik terkait dengan, dan dibangun oleh, berbagai bentuk interaksi dan interpretasi.

Baca Juga  Ketika Hobi dan Bisnis Melestarikan Tawuran Remaja

Semua narasi kebangsaan selalu ditafsirkan oleh beragam kelompok sosial, sehingga tidak aneh jika pemerintah, swasta, masyarakat sipil bisa memiliki makna yang berbeda dan sering kali bertentangan.

Bahkan pertentangan makna kebangsaan dapat dipolitisasi dari berbagai perspektif rasial, etnisitas, agama, gender, usia bahkan kelas sosial. Namun, identitas kebangsaan adalah cara yang selalu diambil oleh negara untuk menyatukan kemajemukan atribut kultural, menjadi alat stabilitas sosial-politik dan teknologi yang mendisplinkan individu hingga saat ini. Bahkan tidak jarang, atas nama kesatuan bangsa, aparat beradu fisik dengan rakyat.

Politisasi SARA bisa punah: Sebuah harapan kelahiran generasi hibrida

Laju globalisasi, kemajuan, teknologi transportasi, dan informasi, membantu setiap orang untuk jatuh cinta pada siapapun dengan identitas apapun. Ini yang mendorong lahirnya generasi hibrida, generasi yang memiliki keragaman identitas dalam satu tubuh. Generasi hibrida telah melampaui sekat-sekat ras, etnis, bahkan kebangsaan ini adalah sebuah harapan bagi keharmonisan sosial.

Kemunculan generasi hibrida membuat identitas tunggal menyusut, dan identitas tidak akan pernah lagi murni, karena akan terus ada persilangan umur, agama, kelas, gender, ras, dan bangsa bahkan mengadopsi identitas yang berdasarkan hobi juga profesi.

Maka jangan kaget jika, pada beberapa tahun ke depan, generasi hibrida akan mendekonstruksi pemahaman lama tentang identitas dan mengembangkan bentuk-bentuk sikretis atribut identitas sosial. Bersamaan dengan ini, diskursus politik identitas akan terkoreksi dengan sendirinya.

Anak-anak muda generasi hibrida akan mengidentifikasi diri dengan beragam identitas. Atau anak-anak muda itu akan berpindah-pindah dari satu identitas ke identitas dengan situasi yang menurut mereka sesuai. Akan tiba waktunya, generasi hibrida akan menyadarkan kita bahwa membicarakan ras, etnis, bangsa atau perbedaan antaridentitas sudah tidak relevan lagi.

Baca Juga  Toleransi Tidak untuk Kaum Intoleran

 

 

*Tulisan ini telah dipublikasikan Kumparan.com dengan judul “Menyoal Identitas dan Politisasi Etnis”.


Bagikan