0   +   1   =  
Bagikan

Pemerintah Indonesia lagi dikejutkan oleh gerakan mahasiswa yang diinisiasi oleh generasi Z. Sebuah generasi yang dianggap paling individualis dan egois dibanding generasi para pendahulunya. Namun nyatanya, mahasiswa Gen Z mampu mengorganisir diri dan memobilisasi aksi.

Memang, sedikit orang bahkan pengamat politik yang mengetahui kenyataan bahwa di tangan generasi Z, politik tidak hanya menjadi perjuangan sosial tetapi sudah bersifat perjuangan personal.

Alih-alih sebagai gerakan ideologis, gerakan mahasiswa saat ini lebih bermuatan praktis. Tujuan mereka turun kejalan menuntut DPR untuk membatalkan RUU KPK, RKUHP dan menuntaskan agenda reformasi. Karena kelompok mahasiswa sadar bahwa yang dipertaruhkan di sini adalah kepentingan individu mereka dan masa depannya sendiri sebagai warga negara.

Sinisme mahasiswa Gen Z terhadap lembaga-lembaga negara, partai-partai politik, dan para politisi kadang diterjemahkan sebagai fenomena apatisme politik. Padahal ini fenomena yang jauh berbeda.

Dimulai sejak generasi milenial, dan didukung oleh orang tua mereka dari Gen X: sebuah generasi yang berjibaku dengan otoritarian Soeharto. Gen Z belajar untuk menempatkan politik di ruang publik dan menahan politik meringkus kehidupan privat.

Dari pandangan tersebut, Gen Z melahirkan bentuk-bentuk politik baru, yang dalam dinamikanya, berupaya untuk mengartikulasikan kekecewaan mereka terhadap struktur kekuasaan. Pandangan Gen Z terhadap politik dapat diistilahkan sebagai “Politik Baru.”

Walaupun, anggapan ini lebih kuat terbangun karena persepsi mereka terhadap perilaku para politisi yang dianggap “korup” dan “jahat” ketimbang ketidakadilan sistemik.

Kebencian mahasiswa Gen Z terhadap politisi semakin membesar, karena aktivisme politik kini dapat disalurkan tidak hanya melalui partai politik tetapi juga dapat dimandatkan pada berbagai bentuk kelompok politik, gerakan-gerakan protes, hingga penggunaan media baru.

Kebangkitan dari Politik Baru, menurut Andrew Heywood, dalam Politics (2013), dicerminkan dari gaya partisipasi yang lebih cair, partisipatoris, non hirarkis dan lebih spontan. Kehadiran politik baru juga ditopang oleh kemunculan masyarakat post-industri dan penyebaran nilai-nilai post-materialis.

Baca Juga  Tips Jitu Pembangunan Kepemudaan: Kita Butuh “Orang Asing” untuk Berani Berinovasi

Mulai dari membela diri, bosan dan kecewa

Dalam pandangan Mahasiswa Gen Z, mereka percaya, hidup mereka semakin suram dan rusak akibat kebijakan politik yang sembrono. Bagi mereka, sistem perlu segera diperbaiki dan dikoreksi demi kepentingan masing-masing individu. Kesadaran individu-individu inilah yang menjadi modal besar bagi akumulasi kekuatan gerakan mahasiswa saat ini.

Eric Hoffer dalam bukunya yang berjudul The True Believer (1951), telah lama menyatakan bahwa orang yang paling mementingkan diri sendirilah yang kemungkinan besar paling gigih dalam perjuangan.

Menurut Hoffer, karena orang yang mementingkan diri sendiri sangat mudah merasa kecewa dan tidak puas. Maka dari itu, semakin besar sifat mementingkan diri seseorang, semakin tajam rasa kecewanya terhadap kebijakan pemerintah yang merugikan dirinya.

Menariknya, jika ditelusuri lebih dalam, jujur dan terbuka, sebenarnya tidak semua mahasiswa merasa kecewa dan tidak puas terhadap berbagai polemik yang terjadi. Tetapi mereka tetap berada di dalam barisan demonstrasi.

Kondisi ini dijelaskan cukup lucu oleh Hoffer. Menurutnya, hampir dari seluruh kelahiran gerakan massa didahului oleh rasa bosan yang menumpuk yang tidak mendapatkan jalan keluar. Ini yang seringkali membuat, gerakan massa kemungkinan besar lebih banyak mendapatkan dukungan dari orang yang bosan daripada dari orang yang tertindas.

Sumber utama rasa bosan adalah kesadaran individu terhadap kehidupan yang menjemukan, hampa, tanpa makna. Maka dari itu, Hoffer menyatakan, individu dapat bebas dari rasa bosan jika ia hanyut dalam kegiatan kreatif atau sepenuhnya sibuk berjuang untuk hidup. Maka merangkul orang-orang bosan tersebut cukup potensial untuk memperbesar gerakan.

Pada konteks ini, kebosanan dapat menjelaskan munculnya hal-hal kreatif dan lucu di lautan massa sekaligus membuat seluruh mantan aktivis mahasiswa-mahasiswi dari generasi milenial, generasi X bernostalgia dengan berbagi foto masa lalu saat berdemonstrasi di media sosial.

Baca Juga  Anak Muda dalam Konstruksi Ruang Sosial

Namun, dari semua unsur yang mempersatukan berbagai elemen gerakan mahasiswa bergerak bersama, rasa kecewa terhadap pemerintahan dan DPR adalah unsur yang paling menyatukan. Rasa kecewa menjadi tipping point yang menggerakan individu-individu untuk mengintegrasikan diri kedalam kolektif besar untuk memperjuangkan kepentingan bersama.

Rasa kekecewaan bersama dapat menyatukan perbedaan golongan, berbagi rasa kecewa bahkan dengan musuh sama dengan mengajaknya ikut bersama dalam satu barisan. Berbagi kekecewaan bisa menjadi wabah yang menjangkiti setiap orang untuk bertindak melampui norma dan tatanan sosial. Dan rasa kecewa hanya dapat diredam dengan memperbaiki keadaan bukan hanya memberi harapan.

Jangan sampai pemerintah terlambat dan menyesal, saat gerakan mahasiswa ini menjelma menjadi “Black Swan.” Istilah “Black Swan” dipopulerkan oleh Nassim Nicholas Taleb untuk menunjukan peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar kendali yang melahirkan kegemparan. Dalam konteks ini adalah kemungkinan faktor X yang akan memberikan “kejutan” bagi situasi politik, ekonomi dan sosial mutakhir.

 

 

*Tulisan ini telah dipublikasikan Kumparan.com dengan judul  “Demo Mahasiswa Gen Z dan Kebangkitan Gaya Politik Baru”.


Bagikan