Masa depan anak muda di Indonesia akan dibentuk oleh megatren dunia: perubahan geopolitik, perubahan iklim, perubahan demografis, globalisasi dan akselerasi teknologi. Semua megatrend ini menentukan bagaimana strategi negara dalam menyelenggarakan pembangunan sumber daya pemuda saat ini untuk menghadapi masa depan dengan percaya diri.
Di antara tren-tren global, globalisasi dan kemajuan teknologi, yang perlu mendapatkan perhatian serius. Karena kedua hal tersebut, telah memfasilitasi setiap anak muda dalam kelompok maupun individu di seluruh dunia terkoneksi. Koneksi tersebut, melampaui teritorial negara dan identitas warga negara, memungkinkan lahirnya cara-cara baru untuk saling memberi manfaat secara politik maupun ekonomi.
Koneksi memberikan kesempatan sekaligus ketidaksetaraan tergantung dari kemampuan pemerintah, swasta dan masyarakat sipil mengelola koneksi tersebut. Koneksi memungkinkan semua urusan dunia semakin terintergrasi dan saling tergantung.
Di saat yang sama, koneksi tanpa batas, membuat anak muda di seluruh dunia, siap-tidak siap, dipaksa bersaing satu sama lain untuk berebut pekerjaan. Ini adalah fakta yang sedang dihadapi generasi muda, karena banyak dari mereka ingin berjuang mencapai kehidupan layak di usia muda.
Irelevansi mengancam generasi muda
Revolusi industri 4.0 ditandai dengan akselerasi teknologi seperti digitalisasi, robotisasi, big data, dan kecerdasaan buatan yang akan mengubah dunia, pemerintah, swasta, masyarakat bahkan perilaku anak muda dalam merencanakan masa depannya.
Mengingat masa lalu, kemajuan teknologi mengakibatkan penghapusan jenis usaha dan beragam pekerjaan, tetapi berhasil menciptakan lebih banyak peluang dan potensi ekonomi yang lebih layak dalam jangka panjang.
Sekarang, di era industri 4.0, generasi muda menghadapi hal yang sama, bahkan hampir semua lini sangat mungkin dilakukan otomatisasi, lebih cepat dari era sebelumnya. Bahkan, pemerintah dan swasta pun ikut terseok-seok beradaptasi dengan perubahan yang belari cepat ini. Otomatisasi melahirkan cara kerja baru, model bisnis baru, dan tantangan baru bagi tata kelola pemerintahan.
Otomatisasi lebih mengancam generasi muda, ketimbang generasi yang lebih tua. Generasi muda melihat fenomena ini dengan bimbang dan linglung, mereka khawatir akan lebih banyak profesi yang hilang daripada peluang ekonomi baru yang muncul.
Perlu diakui bersama, banyak pekerjaan yang berisiko diotomatisasi, didigitalisasi , dirobotisasi yang mengancam generasi muda kelas menengah bawah, yang tidak terampil, tidak berpendidikan. Bagi Yuval Noah Harari dalam bukunya yang berjudul 21 Lessons for the 21st Century, dari permasalahan ini, dampak yang paling mengerikan adalah ketimpangan bukan lagi karena eksploitasi manusia tapi karena irelevansi manusia. Dengan demikian, di era ini, manusia atau anak muda dengan keterampilan tinggi adalah yang paling aman dari risiko otomatisasi.
Keterampilan tinggi tidak bisa disamakan dengan mendapatkan gelar pendidikan tinggi. Karena gelar dari institusi pendidikan di Indonesia tidak menjamin anak muda memiliki keterampilan yang dikompatibel dengan industri 4.0.
Bahkan anak muda yang memiliki talenta berkualitas saat ini, lebih ketat bersaing: sesama manusia atau robot, dengan kondisi kerja yang bahkan tidak memberikan jaminan masa depan apapun pada mereka. Maka dari itu, merujuk kembali kepada Harari, sekarang yang kita butuhkan adalah sistem baru yang dipandu oleh prinsip-prinsip melindungi manusia ketimbang pekerja.
Adaptasi mantra masa depan
Pelajaran terpenting dari sejarah dan situasi dunia kontemporer: kemampuan beradaptasi merupakan mantra yang penting bagi individu, masyarakat, organisasi dan sistem untuk menjamin masa depan yang lebih baik, menavigasi mereka berjalan di jalur perubahan yang tepat dan aman.
Cara memprediksi masa depan yang paling baik adalah dengan menciptakannya. Karena tidak mungkin untuk meramalkan dengan tepat keterampilan seperti apa yang akan dibutuhkan tiga puluh tahun dari sekarang. Jadi, pemerintah, swasta dan masyarakat sipil perlu menyiapkan roadmap di masing-masing bidang untuk berinovasi dan beradaptasi sekaligus.
Namun, sebagian besar resiko-resiko megatren akan ditanggung oleh individu, terutama individu di usia produktif: anak muda. Pemuda maupun Pemudi, akan dipaksa untuk menggali keterampilan baru, tugas baru dan pengalaman baru sepanjang karir juga hidup mereka. Ini sesuatu yang tidak semua anak muda mampu menanggungnya sendiri, terutama bagi mereka yang terpaksa berkompetisi di liga yang sama dengan posisi yang tidak setara.
Maka dari itu, pemerintah, swasta dan organisasi masyarakat sipil perlu melakukan banyak hal untuk menyetarakan kedudukan anak muda agar mudag beradaptasi: dengan memberikan akses pendidikan, jaminan kesehatan, keterampilan teknologi dan insentif bagi kreatifitas untuk menciptakan ekosistem inovasi.
Dengan demikian, hal ini harus dikembangkan melalui kebijakan yang mendorong pemerintah, swasta dan organisasi masyarakat sipil untuk berinvestasi bukan hanya pada penciptaan lapangan kerja tetapi juga turut berinvestasi pada pembangunan sumber daya pemuda. Karena dengan meningkatkan keterampilan beradaptasi dan kemampuan kerja pada generasi muda, akan sangat berguna bagi agenda-agenda jangka panjang nasional lainnya.
*Tulisan ini telah dipublikasikan oleh kumparan.com dengan judul “Rahasia Megatren Global, Bagaimana Nasib Generasi Muda?”.