0   +   4   =  
Bagikan

Dunia mulai terbiasa dengan konsep “sharing economy” atau ekonomi berbagi. Tidak hanya di dunia, di Indonesia istilah tersebut juga cukup populer di berbagai seminar maupun media massa. Dalam semangat ini, setiap orang berbagi barang maupun jasa, tentunya tidak sepenuhnya gratis, tapi mereka di fasilitasi oleh berbagai platform berbasis digital maupun komunitas.

Sharing economy sangat melekat dengan milenial. Dapat dikatakan, milenial adalah generasi yang menginisasi gerakan ini secara konkret dan praksis. Alih-alih terobsesi untuk menguasai aset, generasi milenial hanya perlu mengaksesnya tanpa perlu memiliki sarana atau alat-alat produksi yang terbebani biaya perawat yang besar. Hebatnya, ditangan generasi ini, mereka mampu menyulap berbagai peluang dan barang yang tidak produktif, menjadi produtif sekali, hingga menghasilkan uang.

Bila milenial memberikan pondasi bagi ekonomi berbagi. Gen Z sejak dari kecil sudah sangat terbiasa dengan ekosistem ekonomi berbagi. Sejak gawai semakin cagih, Gen Z mempunyai banyak pilihan aplikasi untuk mempermudah segala urusannya, termasuk urusan uang. Mereka hanya tinggal klik untuk berbagi atau mencari sumber daya yang diperlukan.

Generasi Z terdidik berfikir lebih praktis, seperti “Kenapa kita harus memiliki mobil, jika ada banyak aplikasi yang menyediakan mobil plus sopir untuk kita?” atau “Apa perlu kita membuka toko, saat marketplace mempermudah bisnis kita?”. Bagi generasi ini, selama gratis, atau bisa di sewa, kenapa harus dibeli atau dimiliki.

Berbeda dengan Gen X, yang masih kecanduan untuk memiliki, menumpuk dan menguasai aset. Gen Z, membawa dunia menuju sesuatu yang lebih rasional dan minimalis, intinya sama-sama enak, semua sumber daya bisa diatur.

Dari idealisme menuju pragmatisme

Milenial dapat dikatakan berbudi luhur, mereka generasi yang paling kolaboratif dengan ide-ide perubahan, merajut ideologi dengan teknologi. Idealisme adalah jatung dari generasi ini. Serupa tapi tak sama. Gen Z, lebih mengutamakan nilai kepraktisan dan efisiensi ketimbang urusan moral kolektif.

Baca Juga  Bukan Valentine, Ini Penyebab Anak Muda Tidak Bisa Berinovasi, Mungkin Kamu adalah Korbannya?

Bagi Gen Z, kolaborasi hanya bisa terjadi selama memiliki muatan ekonomi bagi kepentingan masing-masing individu. Jika generasi milenial adalah orang-orang idealis yang mau berbagi bermodal niat baik, Gen Z adalah orang-orang pragmatis yang mau berbagi selama bermuatan ekonomis bagi kepentingannya sendiri.

Pragmatisme Gen Z harus ditempatkan dalam konotasi positif. Karena ini yang membuat generasi Z jauh lebih rasional dan realistis dari generasi sebelumnya. Pragmatisme Gen Z juga tidak bisa disamakan dengan sikap apatisme.

Seperti generasi X dan milenial, Gen Z juga memiliki semangat pergerakan sosial, sebuah cita-cita mewujudkan dunia yang lebih baik. Alih-alih bersifat antagonis dengan negara dan perusahaan, sebagaimana pendahulu mereka. Gen Z memilih untuk bermitra dengan kedua kekuatan tersebut, tentunya memulai dengan cara-cara baru yang bahkan belum terbayangkan oleh generasi-generasi yang lain.

Bagi mereka, daripada terjebak dengan hal-hal yang bersifat filosofis, gerakan sosial sejatinya harus berorientasi pada dampak dan hasil konkret. Karena generasi ini setiap hari terus terpapar dengan berbagai jenis komunitas dan gerakan sosial di media massa yang bersifat filantropi ketimbang ideologis.

Maka tidak mengherankan, jika sekarang, mereka lebih bermental sebagai peserta forum kepemudaan ketimbang bermental sebagai anggota organisasi kepemudaan.

Keinginan Gen Z terlibat pengabdian masyarakat untuk menambah resume atau curriculum vitae untuk mendaftar beasiswa atau lapangan kerja. Dan lagi-lagi, tidak ada masalah dengan ini.

Selain hal-hal tersebut, sebenarnya banyak motif bagi Gen Z untuk terjun dan berkontribusi kepada masyarakat. Karena bagaimanapun, Gen Z tanpa perlu diajari teori kritis, mereka tahu bahwa dunia sedang tidak baik-baik saja melalui ponsel mereka masing-masing sepanjang waktu.

Mulai dari kemiskinan, korupsi, kelaparan, stunting, perceraian, bullying, ancaman disintegrasi, krisis lingkungan dan semacamnya. Gen Z sudah terbiasa hidup dengan berita-berita buruk bahkan berita bohong. Pada titik ini, mereka menjadi semakin skeptis dan realistis, untuk memandirikan diri sendiri dulu, baru memandirikan orang lain.

Baca Juga  Teori Daniel Kahneman dan Saran untuk Gugus Tugas Penanganan Covid 19 di Indonesia

Pergulatan bisnis dengan gerakan sosial

Perusahaan-perusahaan dapat dikatakan mulai mengadaptasi gerakan sosial sebagai strategi marketing mereka. Para pemasar belajar bahwa salah satu cara untuk menarik perhatian konsumen milenial adalah dengan mengaitkan komoditas barang maupun jasa dengan nilai-nilai gerakan atau aktivitas sosial.

Modus operadi ini tidak hanya digunakan oleh pihak swasta tapi juga dilestarikan oleh kelompok-kelompok gerakan masyarakat sipil. Generasi milenial diiming-imingi dengan membeli produk tertentu, maka kita akan membantu menciptakan perubahan dan kebaikan untuk masyarakat yang membutuhkan.

Bahkan pada titik tertentu, entah kenapa gerakan para pemasar menjadi cukup kuat ketimbang gerakan para aktivis. Secara mengejutkan, semua perusahaan bila ditelusuri mengambil peran dalam isu-isu tertentu yang memiliki domain isu yang sama dengan beberapa gerakan masyarakat sipil. Walaupun, tentu saja, gerakan yang diinisasi oleh perusahaan tidak akan pernah menyentuh pada aspek-aspek ekonomi politik yang nantinya akan merugikan perusahaan.

Pada situasi dimana organisasi berorientasi laba dan nirlaba di kawinkan ini, menurut David Stillman dan Jonah Stillman, dalam buku “Gen Z at Work: How the Next Generation Is Transforming the Workplace” (2017), bagi millennial memberi dan berbagi dianggap cukup, bukan berarti mereka tidak peduli dengan produk yang mereka beli, hanya saja mereka lebih peduli dengan dampak pembelian mereka.

Namun, bagi Jonah Stillman, dipersepsi generasi Z, kebanyakan “produk” sekarang telah melakukan kebaikan. Maka dari itu, kualitas produk menjadi sama pentingnya dengan dampak pembelian itu sendiri. Dengan demikian, Gen Z percaya, berdagang kebaikan saja tidak akan pernah cukup.

Gen Z telah sadar, bahwa orang-orang tidak peduli dengan produk yang dibalut dengan misi sosial apapun dari perusahaan maupun kelompok masyarakat sipil, jika produk barang atau jasa yang ditawarkan tidak keren, tidak bermanfaat dan harganya tidak sesuai.

Baca Juga  Cerita Anak Muda yang Kembali ke Bhineka Tunggal Ika

Intinya gerakan bagus, harus didukung produk yang bagus pula. Produk yang bagus, akan menjamin keberlanjutan bagi masa depan lembaga publik maupun privat.

Pada akhirnya, Gen Z dengan percaya diri akan mengajari generasi-generasi sebelumnya, sebagaimana nasihat Jonah Stillman, bahwa laba adalah hal yang paling dibutuhkan organisasi nirlaba untuk dapat melakukan perubahan.

inilah WEconomy, “Aku” menjelma menjadi “Kita”, bukan karena niat baik semata tapi karena keinginan “Aku” untuk berhasil dalam hidup lalu berkontribusi untuk perbaikan “Kita”.

 

Tulisan ini telah dipublikasikan kumparan.com dengan judul Dari Sharing Economy Gen Y ke ‘WEconomy’ Gen Z.


Bagikan