2   +   5   =  
Bagikan

Sob, percaya enggak kalo dunia politik acap kali dianggap sebagai dunianya orang tua? Sering dengar kalimat-kalimat seperti “anak kecil enggak usah ikut-ikutan ngomongin politik” atau “anak kemarin sore seperti kalian belum saatnya ngomongin politik”?

Ucapan-ucapan seperti itu memang seperti meremehkan kapasitas anak muda dalam berpolitik. Anggapan semacam itu  memang lazim terdapat dalam berbagai tradisi politik hampir di seluruh dunia.

Dalam buku-buku sejarah dan beberapa naskah cerita rakyat, pemimpin berusia tua seringkali dikaitkan dengan kebijaksaan dan kewibawaan. Pemimpin berusia tua dianggap lebih matang, enggak seperti anak muda yang dianggap gegabah dalam memutuskan suatu perkara.

Anggapan demikian masih lazim terdapat di berbagai negara, seperti halnya di Jepang. Junichiro Koizumi pernah mencalonkan diri buat jadi perdana menteri pada usia 53 tahun dan ia pun gagal. Usia Koizumi dianggap masih belum pantas. Ia mencoba lagi di tahun 1998 dan usahanya kandas. Koizumi lantas enggak mau nyerah dan nyoba lagi peruntungannya untuk menjadi Perdana Menteri Jepang pada tahun 2001, kemudian ia terpilih pada usia 59 tahun.

Enggak heran bila kemudian pemimpin-pemimpin muda dalam dalam sejarah, seringkali menjadi sorotan. Buku ataupun tulisan tentang John F. Kennedy, yang menjadi Presiden Amerika Serikat selalu menjadi kajian yang menarik. Bukanlah hal yang gampang tentunya untuk memimpin negara adikuasa di dunia tersebut dengan usia yang sangat muda.

Soekarno menjadi Presiden Indonesia pada usia 44 tahun dan hingga hari ini beliau jadi satu-satunya presiden paling muda dalam sejarah Indonesia.

Donald Trump, Presiden Amerika Serikat yang terkenal akan ucapan-ucapannya yang kontroversial terpilih dalam usia 70 tahun. Rekor ini ngalahin rekor Ronald Reagan yang terpilih pada usia 69 tahun.

Baca Juga  Pandemi Corona dan Kartu Pra-Kerja

Persepsi akan usia pemimpin dalam suatu negara, kemudian berimbas juga kepada peraturan terkait usia legal untuk mempunyai hak pilih pada ajang pemilu. Indonesia sendiri menetapkan usia legal untuk memiliki hak pilih ialah 17 tahun, suatu bentuk kemajuan sebenarnya bila dibandingkan mayoritas negara di dunia yang menetapkan usia 18 tahun dan bahkan ada beberapa negara yang menetapkan usia 20 tahun.

Kok bisa hal demikian terjadi di Indonesia? Kalo kita telisik sejarahnya nih sob, Revolusi Kemerdekaan Indonesia (1945 – 1949) digerakkan sebagian besar oleh kalangan “Pemuda”, bila kita meminjam pernyataan Ong Hok Ham,  Belanda sendiri menyebut para pejuang revolusi dengan sebutan “Pemuda” bukan semata-mata karena mereka berusia muda. Menurut Belanda, karena sebagian besar generasi muda saat itu dididik oleh Jepang dan enggak ngerasain pendidikan oleh Belanda, sehingga mereka berani “kurang ajar” terhadap “orang tua”, dalam hal ini Belanda.

Sebelum Revolusi terjadi, udah terdapat banyak gerakan pemuda yang bersifat kedaerahan yang kemudian meleburkan diri dalam Kongres Pemuda II tahun 1928 atau yang kita kenal sebagai “Sumpah Pemuda.”

Pasca penyerahan kedaulatan Indonesia dan penghapusan RIS menjadi RI 1950, para pemuda senantiasa memainkan peranan sentral dalam politik. Banyak organisasi kepemudaan yang kemudian turut serta dalam mengisi pembangunan sebut saja HMI, PMII, GMNI, PMKRI, GMKI, dan lain-lain. Rupanya banyak juga peristiwa sejarah penting yang digerakkan oleh pemuda seperti Aksi Tritura (1966), Malari (1974),  Reformasi (1998).

Boleh jadi narasi-narasi sejarah Indonesia yang cenderung mengagungkan peranan para “Pemuda” memunculkan persepsi bahwa pemimpin muda, ialah bentuk pemimpin ideal. Muncul rumusan bahwa pemimpin muda jauh lebih unggul ketimbang pemimpin tua. Hal tersebut tercermin dalam berbagai ungkapan, antara lain: “pemimpin muda dianggap lebih mampu menjawab tantangan zaman”; “pemimpin muda lebih kreatif”; dan “pemimpin muda lebih terbuka dan open minded”.

Bahkan enggak jarang kita mendengar ungkapan “yang muda yang memimpin.” Tidak jarang para politisi berusia tua, seringkali bergaya seperti anak muda atau sok millenial mempertahankan jiwa muda mereka agar terlihat kekinian.

Baca Juga  Hari Pendidikan: Selamatkan Pendidikan, Bukan Selamat Hari Pendidikan

Indonesia boleh berbangga diri sebagai negara dengan kemudahan berpolitik bagi pemuda di Asia. Ironisnya situasi ini berbanding terbalik dengan usia para politisi kita, sebagian besar parlemen dan posisi di kabinet didominasi oleh orang-orang berusia tua. Enggak hanya itu, sebagian besar presiden Indonesia dilantik pada usia yang enggak lagi muda.

Bila ditelisik rupanya terdapat beberapa faktor yang mendasari hal ini dapat terjadi seperti kurangnya partisipasi pemuda dalam perpolitikan, berkurangnya minat para pemuda dalam organisasi kepemudaan belakangan ini dapat menjadi indikator. Belum lagi mahalnya ongkos politik, sehingga politik didominasi orang-orang tua dan anak-anak muda yang bisa masuk ke dalam pusaran politik kebanyakan mereka berasal dari keluarga terpandang.

Harapan akan partisipasi anak muda dalam politik, seolah jauh panggang dari api. Fenomena mulai fokusnya berbagai partai politik untuk melibatkan anak muda bisa menjadi angin segar untuk memunculkan presiden dan parlemen dari kalangan anak muda. Kehadiran partai politik ini tentunya memberikan harapan bagi para pemuda yang selama ini resah dengan krisis multidimensi yang dihadapi oleh negara ini dalam berbagai sektor, diharapkan dengan memberi peluang bagi anak-anak muda dapat memutus generasi dengan generasi tua yang telah dianggap “tercemar” dengan praktik-praktik usang.


Bagikan