7   +   8   =  
Bagikan

Menjadi anak muda di Indonesia itu gampang-gampang susah. Karena kita dipaksa untuk berdamai dengan paradoks  hampir setiap hari.

Saya memiliki teman seorang homoseksual dan seorang  anggota Hizbut Tahrir Indonesia,  mereka berdua sahabat saya.

Mereka orang yang menyenangkan, baik saat menjadi teman kerja maupun teman main. Namun, kalau sudah menyangkut hal-hal ideologis, keduanya sama-sama garang, bahkan tak jarang sesi debat berakhir saling hujat.

Tapi, kami sering bertemu di ruang dialog yang terbuka, saling melempar canda dan mengabaikan perbedaan di antara kami.  Dari mereka saya belajar, ternyata, bersikap bodo amat dengan identitas diri itu adalah obat mujarab untuk membangun harmoni bersama orang lain.

Saya paham betul, katanya, masa muda itu masa transisi.  Teori-teori bilang, ini masa-masa mencari jati diri, upaya anak muda menjadi dewasa, dan menjadi manusia yang paripurna.

Saya sedikit tidak percaya, bagi saya jati diri itu tak akan pernah sempurna, bahkan sampai kita mati. Setiap orang berubah, bahkan dengan waktu yang cenderung singkat.

Coba refleksi sebentar dan perhatikan sekitar, saya yakin kamu pasti pernah memiliki teman yang dulunya fakboi, sekarang jadi religius, dan gak aneh juga, yang terjadi malah sebaliknya sang religious muda malah jadi fakboi menjelang dewasa.

Nah inilah hidup, semua bergulir begitu saja dengan berbagai alasannya yang menyertainya. Menariknya, pada fase kehidupan tertentu, kita akan meyakini sesuatu sebagai kebenaran hakiki dan menganggap yang lain adalah sebuah kesalahan yang tak seharusnya ada.

Ini membuat kita jadi senang berdebat agar terlihat hebat. Kita membelanya mati-matian bahkan mengabaikan akal sehat, yang lebih parah merekayasa “kebenaran” agar sesuai dengan kepentingan kelompok kita sendiri.

Baca Juga  Remaja Indonesia dan Pergolakan Dunia

Tapi, ingat kini si fakboi dan si religious sudah bertukar posisi, jadi pertanyaannya apakah ini membuat mereka menjadi lebih toleran, dengan perbedaan dan persamaan di antara mereka? Jawaban saya, tergantung mereka berkelompok dengan siapa hari ini.

Susahnya toleran di kelompok intoleran

Saya selalu meyakini, individu tidak pernah bebas dari kekuatan kolektifitas, termasuk anak muda. Karena sebagaimana kata Durkheim (1897), bagaimapun seseorang menjadi individu, selalu ada  sesuatu yang kolektif.  Karena memang benar adanya, kita selalu tunduk oleh “diktator sosial” di sekitar kita.

Berdasarkan asumsi itu, Saya melihat intoleransi di kalangan anak muda  lebih mungkin terjadi ketika  anak muda yang bersangkutan terintergrasi terlalu kuat dengan kelompok-kelompok intoleran.

Secara umum, anak-anak muda yang melakukan tindakan intoleran karena merasa bahwa itu adalah tugas dia dan kelompoknya.

Hal ini sangat terlihat dari anak-anak muda yang berafiliasi dengan ormas-ormas yang disinyalir berpaham radikal, entah beraliran kiri maupun kanan.

Saya melihat, semakin  mereka terintegrasi dengan kelompoknya yang intoleran, mereka akan semakin bertindak intoleran atas nama “kebaikan” kelompok.

Pada situasi  sosial semacam ini, tindakan intoleransi  bahkan cenderung perlakuan diskriminasi dianggap biasa saja oleh anak muda yang berpandangan banal ini. Kenapa ini terjadi berulang? karena secara terus-menerus  perilaku ini diafirmasi oleh kelompoknya.

Atas nama toleransi

Lalu apa yang harus kita lakukan terhadap kelompok-kelompok muda yang intoleran? Jawabannya memang dilematis, kita harus bertindak intoleran terhadap kelompok-kelompok yang mengancam toleransi.

Pada posisi ini, saya sangat sepakat dengan  gagasan paradoks toleransi Karl Popper pada tahun 1945. Menurut gagasan Popper, untuk menjaga masyarakat yang toleran, masyarakat harus intoleran terhadap intoleransi. Karena kalau tidak, kaum intoleran akan menyikat habis masyarakat yang mencita-citakan toleransi.

Baca Juga  OK Boomer, Picu Perang Generasi?

Lebih lengkapnya, Popper menjelaskan paradoks ini pada buku The  Open Society and Its Enemies (1945),   yang mengatakan bahwa toleransi tak terbatas akan memicu hilangnya toleransi. Jika toleransi juga diberikan kepada kaum intoleran, masyarakat yang toleran akan hancur bersama tolerasi itu sendiri.

Pada titik ini, saya juga tidak membiarkan perlawanan terhadap kaum intoleran dengan tindakan represif. Yang bisa kita lakukan adalah memperbesar kelompok-kelompok toleran, membuka ruang-ruang yang lebih terbuka dengan keberagaman identitas maupun ide, dan mempersempit kesempatan bagi kelompok-kelompok intoleran untuk memanfaatkan keadaan untuk mencari massa.

Namun lain cerita jika mereka sudah mengangkat senjata dan mengancam nyawa manusia, atas nama toleransi, kita berhak tidak toleran terhadap kejahatan yang sangat keji itu.

 


Bagikan