Di awal tahun 2020 ini, inovasi menjadi harta karun yang paling dicari oleh setiap orang yang berkiprah baik di sektor publik, swasta dan masyarakat. Sayangnya, kata inovasi masih dimaknai secara sempit, karena hanya selalu dilekatkan dengan pemanfaatan teknologi dan hal-hal bersifat “fungsional”.
Saya merasa, jika semakin sering inovasi dihubung-hubungkan dengan hal yang bersifat teknis, ide-ide segar tumbang sebelum tumbuh. Karena ujung-ujungnya inovasi akan terjerumus pada logika kepemilikan infrastruktur teknologi, alias yang bisa berinovasi adalah yang punya modal besar.
Inovasi bisa menjelma dalam bentuk apapun. Karena bagi saya, inovasi lebih kepada penerapan sebuah ide untuk membuat kemajuan secara bertahap dan teknologi semata-mata hanyalah alat bantunya.
Banyak dari kita percaya, bahwa inovasi harus memiliki narasi besar, memberikan dampak perubahan yang revolusioner sekaligus mendistrupsi tatanan sosial secara radikal. Padahal, Kita dapat melihat perubahan yang sangat sederhana cenderung memiliki dampak yang besar.
“Kita dapat melihat bahwa perubahan yang sangat sederhana cenderung memiliki dampak yang besar”
Percaya tidak percaya, lucunya inovasi malah sering dipicu dengan hal yang remeh-temeh yaitu keresahan yang sangat bersifat personal. Karena inovasi berangkat dari keresahan personal, menurut saya, semua orang sangat berpotensi membuat inovasi, bahkan bagi mereka yang tidak mengeyam pendidikan apapun.
Sekarang pekerjaan besarnya adalah menciptakan iklim yang kondusif bagi berbagai jenis “ide gila” yang mungkin bernilai di masa depan mendapatkan lahan yang subur untuk tumbuh dan diuji khasiatnya.
Berdasarkan pengalaman saya, kemampuan berfikir inovatif menjadi kebutuhan utama bagi sebuah organisasi, terutama bagi pemerintah, perusahaan, dan organisasi yang menggarap segmen generasi muda.
Semakin Mapan, Semakin Mandul
Sayangnya, pada lembaga-lembaga yang sudah mapan, inovasi malah mandul, dan itu lebih sering diakibatkan oleh kekakuan pihak internal menerima ide baru ketimbang hambatan-hambatan dari pihak eksternal. Ironisnya ancaman terhadap iklim inovasi semakin besar seiring semakin mapannya organisasi kita.
Hal ini dikarenakan, semakin mapan sebuah organisasi, ia akan cenderung menempatkan banyak “filter” untuk menyaring ide-ide baru. Clayton Chrostensen, penulis The Innovator’s Dilemma, menyatakan bahwa struktur dan proses yang awalnya didirikan untuk mendukung kinerja organisasi malah seringkali menjadi penghambat inovasi.
Menurut saya, anak muda sekarang telah terbiasa menerima kegagalan karena sering kali ide-ide baru mereka tidak dapat lolos dari ketatnya filter manajemen, filter administrasi, filter sumberdaya bahkan filter “tradisi” organisasi. Karena jika filter-filter tersebut terlalu ketat hanya akan sedikit inovasi yang dapat lolos.
“Sayangnya, pada lembaga-lembaga yang sudah mapan, inovasi malah mandul, dan itu lebih sering diakibatkan oleh kekakuan pihak internal menerima ide baru ketimbang hambatan-hambatan dari pihak eksternal”
Ambil contoh kisah Nikola Tesla, ilmuwan dunia yang menawan. Pada saat Tesla menjadi seorang murid di Joanneum Polytechnic School di Graz, Austria di tahun 1876, ia melihat salah satu profesornya , Jacob Poeschl, mencoba mengontrol percikan api sebuah mesin dengan arus searah, yang pada saat itu merupakan teknologi paling mutahir. Namun, Tesla melihat ada kekurangan dari temuan Jacob, dan akhirnya ia menyarankan profesornya untuk menggunakan metode yang berbeda untuk mencegah percikan, bukan hanya mengendalikannya.
Profesor tersebut tersinggung dan merasa terganggu dengan ide-ide dari Tesla, dan Jacob mempermalukan Telas dihadapan ruang kelas, dengan mengatakan gagasan Tesla adalah sesuatu yang tidak pernah bisa dilakukan secara prosedur dan keilmuwan.
Di tengah cemoohan tersebut, Tesla mencoba mengubah metode dan kaidah-kaidah yang ada untuk menghilangkan percikan pada mesin. Usaha Tesla berhasil, dan temuannya menjadi pondasi bagi sistem distribusi listrik di Amerika Utara sekarang.
Pembunuh Inovasi di dekat anda
Menurut Cynthia Barton Rabe, penulis buku The Innovation Killer (2006), inovasi dibunuh oleh dua hal. Pertama adalah pemikiran kelompok, yakni kecenderungan yang kita miliki untuk membuat “Inovasi” yang akan disetujui oleh semua orang dalam kelompok kerja kita. Kedua adalah pemikiran ahli, adalah kecenderungan yang kita miliki untuk membuat “inovasi” yang akan disetujui oleh pemegang “otoritas”.
Saya menilai, pada kedua konteks, kita berkompromi atau menyelaraskan diri pada kelompok dan atasan karena kita ingin menjaga harmoni atau karena merasa terintimidasi.
Pada kaus yang pertama, penelitian Irving Janis, seorang psikolog sosial, mengenalkan istilah “Pemikiran Kelompok” pada tahun 1972. Menurut Janis, pemikiran kelompok mengakibatkan keputusan yang salah karena pada dasarnya pendapat mayoritas yang belum tentu benar cenderung meredam pendapat minoritas yang bisa jadi benar.
“Kita berkompromi atau menyelaraskan diri pada kelompok dan atasan karena kita ingin menjaga harmoni atau karena merasa terintimidasi”
Karena adanya tendensi untuk menyesuaikan diri yang begitu kuat, seringkali anak muda yang produktif pun bersedia menjadi pemalas di tengah organisasi yang diisi oleh para pemalas. Bahayanya adalah pemikiran kelompok seringkali mengubah para inovator menjadi sekelompok medioker.
Pada kasus yang kedua, sebagaimana yang dikutip oleh Barton Rabe, dari suatu penelitian yang dilakukan oleh California Management Review, tercatat bahwa tujuh dari sepuluh karyawan dalam bisnis di Amerika berkata bahwa mereka tidak bicara saat pendapat mereka bertentangan dengan atasan mereka.
Dari tujuh puluh persen pegawai, menurut temuan itu, dapat disimpulkan walaupun kita tahu bahwa kita benar, kita akan ikut atasan kita yang salah dengan sadar, sungguh penyakit jiwa. Pada akhirnya, para pimpinan cenderung menerima pendapat dari orang-orang yang paling mustahil melahirkan inovasi.
Kedua penyakit ini meracuni ide-ide kreatif, melumpuhkan terobosan, dan membunuh inovasi bahkan sebelum inovasi itu menjadi janin. Racun-racun ini nyatanya sudah mengalir di darah organisasi, dan semakin membuat anggota-anggotanya membisu karena keracunan. Wabah ini adalah hal yang paling lumrah saya temui di sektor-sektor kepemudaan, dan mungkin sekarang telah menjangkit organisasi anda di sektor lainnya.
Wildanshah adalah Komisaris Warga muda, sebuah lembaga yang bergerak di kajian bonus demografi, youth policy, dan youth development. Ia dapat ditemui di instagram@wildan.shah