Sistem pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat telah banyak berubah, jika dahulu demokrasi dikuasai orang-orang bersenjata, sekarang, bagi Steven Levitsky dan Daniel Ziblat, penulis buku “How Democracies Die”, banyak jalan untuk merusak demokrasi dari dalam, bahkan menggunakan prosedur dan konstitusi yang berlaku.
Levitsky dan Ziblat, menyajikan realitas politik yang dramatis sekaligus ironis, bahwa seorang diktaktor kini lahir dari sistem demokrasi yang terbuka dan dipilih oleh warga negara. Bagi Levitsky dan Ziblat, fenomena kematian demokrasi harus dipahami sebagai sebuah proses ketimbang peristiwa tunggal.
Mereka membuktikannya dengan menelusuri proses demokrasi yang telah berlangsung di Eropa, Amerika Latin, dan beberapa tempat lainnya. Dapat dikatakan karya ini, merupakan upaya Levitsky dan Ziblat untuk mempersenjatai rakyat dengan pengetahuan yang dapat melacak dan mencegah calon diktaktor mengendalikan demokrasi.
Menurut Levitsky dan Daniel, terlalu berharap pada demokrasi adalah pandangan keliru, karena rakyat sebenarnya tidak bisa membentuk jenis pemerintahan semau mereka, karena bila mayoritas rakyat suka otoritarianisme, maka cepat atau lambat demokrasi akan bermasalah.
Huru-hara dalam demokrasi tidak lepas dari ulah pada demagog. Demagog adalah pemimpin rakyat yang pandai menghasut rakyat untuk memperoleh kekuasaan. Para demagog hidup di ekosistem demokrasi, menjelma menjadi predator politik, dan bahayanya, mereka mendapatkan tempat di hati publik. Tugas besar bagi kelompok intelektual, elit politik dan media untuk melacak gerak-gerik para demagog, bertindak sebagai filter demokrasi, dan berusaha mencegah mereka untuk tidak merebut kekuasaan.
Membekali diri untuk pencegahan dini
Untuk membentengi demokrasi dari para demagog, masyarakat harus dibekali pengetahuan kritis dalam mengidentifikasi kemunculan mereka dipanggung demokrasi. Karena sebenarnya, banyak tokoh otoriter bisa dikenali sebelum mereka menduduki jabatan politik.
Merujuk pada buku “The Breakdown of Democratic Regimes” karya Juan Linz, kita dapat memilah sekaligus mengidentifikasi politisi yang bisa memperkuat atau mengancam demokrasi. Menurut Linz, ada empat karakteristik pemimpin poitik yang memiliki kecenderungan merusak demokrasi, seperti 1) menolak aturan main demokrasi, dengan kata-kata dan perbuatan, 2) menyangkal legitimasi lawan, 3) menoleransi atau menyerukan kekerasan, atau 4) menunjukan kesediaan membatasi kebebasan sipil.
Pemimpin politik yang memenuhi satu karakteristik yang diajukan oleh Linz, sudah cukup mengkhawatirkan dan berpotensi menjadi pemimpin otoriter. Menariknya, politisi yang memiliki kemiripan dengan karakteristik tersebut kebanyakan merupakan tokoh-tokoh populis yang mengaku mewakili suara “rakyat” dengan mengobarkan perang terhadap elit politik dan meragukan demokrasi yang dianggap sudah dibajak oleh oligarki.
Ironisnya, ketika para tokoh populis ini menang pemilu, mereka malah semakin aggresif menyerang dan melemahkan lembaga-lembaga demokrasi sebagaimana yang dilakukan oleh Alberto Fujimori, Hugo Chazes, Evo Morales, Lucio Gutierrez, Rafael Correa, Recep Tayyip Erdogan dan Donald Trump yang menjelma menjadi demagog di negaranya masing-masing.
Perlu dimaklumi bersama, secara faktual, demokrasi tidak mampu menyeleksi atau menyaring para demagog tersebut. Hal ini dikarenakan para penjaga gerbang demokrasi seperti kelompok intelektual, media massa dan partai politik semakin lemah pengaruhnya untuk mengawal demokrasi.
Tentunya situasi ini membuat Levitsky dan Ziblatt gelisah, bagi mereka berdua, faktor ini dipengaruhi oleh ledakan media alternatif, terutama berita TV kabel dan media sosial yang secara signifikan menggerus kekuasaan penjaga gerbang tradisional, karena lingkungan media baru ini membuat demagog dengan mudah mendapatkan ketenaran, pengaruh dan dukungan publik dalam sekejap. Menjadi wajar, jika para demagog yang tidak memiliki dukungan dari para pialang kekuasaan tetapi masih bisa memiliki banyak dukungan dari masyarakat karena kemudahan mobilisasi melalui media digital.
Di saat bersamaan, pemberian mandat oleh partai politik kepada para demagog yang otoriter untuk mencalonkan diri menjadi calon presiden, biasanya dikarenakan dua keliruan utama. Pertama, adanya keyakinan yang keliru bahwa seorang yang otoriter dapat dikendalikan dan dijinakan oleh institusi maupun elit politik. Kedua, adanya “kolusi ideologis” dimana agenda para demagog punya banyak kesamaan dengan agenda partai politik koalisi.
Perang Partisipan di Pemilu 2019
Pengumuman KPU terkait kemenangan pasangan Joko Widodo-Maruf Amin dalam pemilu 2019 mengundang reaksi dari kubu pendukung Prabowo. Situasi semakin memanas, karena polarisasi yang telah terjadi di tengah masyarakat semakin keruh. Hal ini dimanfaatkan kedua belah pihak untuk memperkuat partisipannya masing-masing diberbagai lini.
Proses kenaikan demagog menuju kekuasaan cenderung membuat masyarakat terpolarisasi dan elit politik terframentasi. dampaknya membuat iklim kepanikan, permusuhan publik, perselisihan keluarga dan saling tidak percaya, saling serang karena terjadi perang partisipan. Kata-kata provokatif menjadi senjata para demagog untuk menyerang lawan, kadang bahkan menjadi boomerang yang mencelakan diri sendiri dan stabilitas publik.
Para demagog masa kini, yang berada di lingkaran kekuasaan, dalam menguasai dan mengendalikan rakyat tindak perlu lagi dengan moncong senjata. Mereka menggunakan prosedur dan konstitusi untuk meringkus dan memeras lawan politik. Mereka tidak ragu menangkap wasit demokrasi (institusi demokrasi) untuk dijadikan perisai pemerintah sekaligus senjata untuk membelah dan memilah kawan maupun lawan politik.
Jika diktaktor dan demagog gaya lama sering memenjarakan, mengasingkan, atau bahkan membunuh lawannya, sementara diktaktor hari ini lebih memilih tindakan represif melalui modus keamanan nasional, selubung legalitas dan kedok prosedural. Sedangkan, bagi demagog yang tersandera oleh konstitusi, krisis merupakan kesempatan untuk mereka memukul balik perimbangan politik dalam sistem demokrasi.
Para demagog selalu mengharapkan krisis untuk membenarkannya untuk menghancurkan prinsip-prinsip demokrasi. Demagog memanfaatkan perbedaan sosial-ekonomi, rasial, atau agama untuk membentuk sikap para partisipannya pada titik yang paling ekstrem untuk merebut kekuasaan. Karena, dalam suatu masyarakat yang terpolarisasi, memperlakukan pesaing sebagai musuh bisa menjadi senjata ampuh dalam pertempuran politik.
Maka dari itu, untuk mencegah kooptasi para demagog pada sistem demokrasi, Menurut Levitsky dan Ziblatt, perlu dibentuk koalisi efektif yang mempersatukan kelompok-kelompok dengan pandangan tak seragam, menanggalkan kepentingan jangka pendek, koalisi ini dibangun tidak hanya untuk kawan, tetapi lebih fokus untuk merangkul lawan politik.
Dan pada situasi hari ini, pasca aksi 22 mei 2019, perang partisipan harus segera diredam oleh para elit politik, pialang kekuasaan, kaum intelektual, dan media, itu pun jika mereka masih ingin Indonesia bertahan dari agen-agen terselubung yang memanfaatkan kerusuhan ini untuk mencari untung. Atau memang bangsa kita sendiri yang ingin membunuh demokrasi dengan perselisihan tanpa akhir?
*Tulisan ini telah dipublikasikan Asumsi.co.