Anak Muda dalam Konstruksi Ruang Sosial- Warga Muda
Anak muda adalah salah satu kategori identitas manusia yang diartikulasikan secara kultural dengan identitas lain seperti kelas, gender, seks, ras dan lainnya. Yang jarang diketahui sebenarnya kita juga dapat melihat anak muda dalam kaitannya dengan keberadaan mereka pada ruang-ruang sosial tertentu.
Sebagaimana yang dikatakan Anthony Giddens (1984), pemahaman tentang aktivitas manusia yang didistribusikan dalam ruang adalah salah satu hal mendasar dalam analisis sosial. Karena interaksi manusia terjadi pada ruang-ruang yang mengandung makna dan norma sosial yang terkait langsung dengan budaya setempat.
Berangkat dari hal tersebut, kita harus memahami bahwa anak muda bisa berperilaku berbeda di ruang atau tempat yang berbeda pula. Karena sekolah, mall, rumah, kampus, kantor, kamar, taman, jalanan dan ruang-ruang lainnya sejatinya memuat seperangkat “tata krama” yang mengatur bagaimana anak muda harus bersikap.
Sebagai contoh yang lebih spesifik adalah sekolah yang juga dapat dibagi-bagi menjadi ruang-ruang seperti ruang kelas, perpustakaan, lapangan, kantin, ruang guru, ruang kepala sekolah, laboratorium dan lainnya.
Ruang-ruang tersebut memiliki fungsi dan aktivitas yang miliki makna sosial yang berbeda, bahkan pada titik tertentu memiliki muatan relasi kuasa yang berbeda pula.
Siswa bisa memasukin ruang-ruang yang berada di sekolah, tetapi ia “dipaksa” untuk menyesuaikan diri dengan norma dan aturan kuasa yang melekat pada ruang tersebut. Sebagaimana ia akan berperilaku berbeda saat mereka berinteraksi di ruang guru dengan interaksi di kantin.
Ruang-ruang sosial ini terbentuk oleh banyak interaksi antara manusia dengan manusia, manusia dengan komunitas, dan manusia dengan ruang. Dimana dari interaksi memunculkan seperangkat tata krama, nilai, norma, dan makna pada ruang.
Saya ambil contoh kamar mandi di sekolah. Kamar mandi di sekolah tidak hanya menjadi ruang untuk urusan buang air tetapi juga menjadi tempat “persembunyian siswa” untuk nongkrong, merokok, bullyng, cabut dari mata pelajar, dan lainnya.
Ruang kamar mandi di sekolah dan di rumah juga memiliki interaksi yang berbeda. Dengan demikan, perebutan makna atas ruang adalah proses yang terus-menerus yang sangat terkait dengan struktur dan agensinya.
Rumah adalah panggung drama
Saya coba meminjam teori dramaturgi dari Erving Goffman untuk menganalisa ruang. Dalam buku “The Presentational of Self in Everyday Life”, Goffman ia mengibaratkan kehidupan masyarakat bagai ibarat panggung sandiwara, dimana setiap individu dalam interaksi sosial akan memainkan peran tertentu bak aktor yang menggunakan atribut-atribut tertentu seperti gaya bahasa, gaya berpakaian, tata karma dan lainnya dalam situasi tertentu agar di terima secara sosial oleh “penonton” dalam konteks ini bisa keluarga, komunitas, dan masyarakat.
Anak muda dengan demikian juga hidup sebagai aktor untuk panggungnya sendiri. Bila kembali menggunakan gagasan Goffman, anak muda akan memiliki “ruang depan” dan “ruang belakang”.
Ruang depan adalah tempat dimana anak muda ingin menunjukan dirinya sesuai dengan “ekspetasi” para penontonnya dalam situasi ini anak muda tunduk terhadap norma sosial. Sedangkan, “ruang belakang” tempat dimana anak muda dapat menjadi dirinya sendiri tanpa memperdulikan penontonnya, bahkan “melarikan diri” dari normal sosial.
Saya ambil contoh di rumah. Persoalan privasi antara anak muda dengan keluarganya telah menjadi isu yang penting di era modern ini. Walaupun tidak ada orang yang menjadikan ini sebagai isu yang cukup serius.
Kita dapat lihat anak muda membutuhkan ruang atau kamar untuk dirinya sendiri agar dia dapat merasakan kebebasan tanpa harus ada “pengawasan” orangtua masing-masing.
Mereka mulai mengunci kamarnya, merasakan ruang bebas di rumahnya sendiri, menjadi diri sendiri. Mereka mulai membuat jarak dengan anggota keluarga lain. Menjadikan rumah sebagai panggung drama dimana mereka menjadi pemeran utama yang menyimpan banyak rahasia. Karena tahu betul bahwa rumah adalah salah satu ruang yang tidak mungkin menerima mereka secara utuh.
Ini yang menyebabkan anak muda lebih merasa nyaman saat bersama temannya daripada keluarga mereka sendiri. Karena di ruang-ruang tongkrongan posisi anak muda setara dan lebih dialogis, ketimbang rumah yang subordinatif dan monolog. Bahkan, tidak dapat dipungkiri dalam tempat nongkrong juga anak muda akan masih bermain peran.
Jadi, yang ingin saya sampaikan, budaya yang berbeda akan mendesain ruang sosial yang berbeda, dan ruang-ruang sosial tersebut akan melahirkan nilai, normal, dan makna yang membuat individu atau anak-anak muda menyesuaikan diri dengan ruang sosial atau malah “menyiasatinya” dengan menyusupkan nilai, norma, dan makna alternatif terhadap ruang tersebut.