Kemarin, ada tagline yang menggelitik,”kaum rebahan bisa menyelamatkan dunia”. Kira-kira itu tagline yang menjawab anjuran WHO untuk physical distancing karena Covid-19. Dengan satu kejadian pandemi saja, Indonesia dibuat pontang-panting. Banyak obituari berserakan di media sosial, pun di media massa.
Dari pandemi Covid-19 ini, salah satu yang mendiagnosis bertambah atau tidaknya orang yang terinfeksi adalah laboratorium, yang erat hubungannya dengan riset, sains dan teknologi (saintek). Dari sini kita mengerti bahwa aspek laboratorium dan riset tidak bisa dianggap enteng, terlebih dalam pandemi Covid-19.
Kita juga beranggapan bahwa satu penyakit saja sudah mampu mengubah tatanan hukum, sosial, dan ekonomi. Contoh kecil yaitu ketika pemerintah mengeluarkan Perppu dan Undang-Undang untuk mengatur pandemi. Di luar Indonesia, negara besar macam USA, China, Eropa, dll yang unggul dalam saintek, juga bersusah payah berhadapan dengan Covid-19. Aspek ekonomi dan sosial mereka juga goyah.
Soal riset, pemerintah belum memandang seksi. Baru-baru ini kita mendengar anggaran Kemenristek & BRIN justru disunat paling banyak dibanding kementerian lain untuk menghadapi pandemi.
Zaky Bukalapak juga pernah mengeluhkan anggaran riset Indonesia yang minim, hanya 0,2 dari PDB. Belum lagi soal atmosfer riset yang kembang kempis di perguruan tinggi dan lembaga riset.
Sialnya, menurut Fisikawan LIPI, pendidikan dasar kita lah yang justru menjadi kambing hitam, karena pembelajaran sainsnya yang terlalu dogmatis.
Hasil riset juga banyak yang mandeg dan berdebu di ruang sunyi. Dari data Global Innovation Index 2019 yang mengukur kecenderungan negara dalam melakukan riset dan pengembangan. Indonesia berada diperingkat 7 di ASEAN dan peringkat 85 dari 129 negara.
Indonesia hanya lebih baik dari Kamboja, Laos, Myanmar, Timor leste. Data Scimago Journal Country Rank 2019 menyebutkan bahwa peringkat publikasi internasional Indonesia diposisi 48 dari 239 negara. Masih di bawah Singapura, Malaysia dan Thailand. Tentu bukan data yang menggembirakan, namun dapat diperbaiki pada masa mendatang.
Dan saat situasi pandemi ini, salah satu yang disorot adalah perusahaan bidang kesehatan dan obat-obatan. Para peneliti di laboratorium mereka sibuk memproduksi vaksin, obat, alat diagnosis, dll. Sebagai contoh Novartis, melihat data yang dikeluarkan oleh Forbes tahun 2019, Novartis bertengger di urutan 61 sebagai perusahaan terbesar di dunia. Peringkat yang tinggi untuk perusahaan bioteknologi kedokteran dan obat. Belum perusahaan lain pada bidang diagnostik laboratorium dan kesehatan seperti Roche, Abbot, ThermoScientific, dll. Yang sebagian besar produknya dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.
Perusahaan-perusahaan tersebut juga bisa menjadi contoh bahwa para peneliti, pemerintah dan swasta dapat berkolaborasi. Sekarang, Indonesia bertopang pada Biofarma, Indofarma, Kimia Farma dalam produksi vaksin, obat dan bahan laboratorium pada level industri. Namun perusahaan plat merah tersebut tak mampu mengudara lebih jauh.
Agar mampu lebih jauh, konsep tiga kolaborasi antara pemerintah, swasta dan peneliti perlu diperkuat lagi. Yang pada akhirnya bisa memunculkan solusi antara lain hasil riset terserap industri, penghargaan kepada peneliti, pertambahan dana penelitian, yang semuanya bisa mendorong daya saing Indonesia dalam saintek.
Sinergi berbagai lini, khususnya anak muda
Mengutip data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), bahwa jumlah dosen, peneliti, dan perekayasa Indonesia sebanyak 301.885 dan rasionya adalah 1:944 penduduk, 1.280 diantaranya bergelar Doktor. Tentu rasio tersebut bukan rasio ideal untuk menuntaskan pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Saat ini beberapa anak muda dari dalam negeri dan jaringan diaspora telah mengisi pos SDM tersebut. Namun, hal itu belum cukup untuk meningkatkan rasio untuk menjadi ideal.
Menengok pembelajaran dari Cina dengan China Academy of Society (CAS) atau semacam “dewan pertimbangan ilmiahnya” pemerintah. Tahun 1953, menurut Xiaoxuan Li dkk, para ilmuwan muda CAS dikirim ke Uni Soviet untuk belajar saintek. Kita tahu bahwa pada tahun tersebut sedang terjadi perang ideologi dan ilmu pengetahuan antara Amerika dan Uni Soviet.
Pada tahun tersebut juga dirumuskan bagaimana peran CAS yang tidak hanya mengurusi saintek saja. Lebih dari itu saintek ikut berkontribusi kepada pertumbuhan ekonomi dan sosial Cina. Dan hari ini kita bisa lihat hasilnya, Cina menjadi negara dengan kekuatan ekonomi nomor 2 setelah Amerika.
Sebenarnya momentum seperti CAS pernah dialami oleh Indonesia. Hanya saja para ilmuwan muda yang dikirim oleh Bung Karno ke luar negeri tidak bisa kembali ke Indonesia oleh kekuasaan Orde Baru pada waktu itu. Dan ketika Almarhum Prof. B.J. Habibie menjadi presiden, beliau sangat berpihak pada teknokrat dan ilmuwan. Karena presiden berganti dan politik yang tidak mendukung, maka keberpihakan itu terhenti.
Momentum kemajuan saintek juga bisa dialami lagi oleh Indonesia kalau anak mudanya menjadi penggerak. Para anak muda penggerak bisa berkontribusi lewat komunitasnya, organisasinya, desanya, kotanya, lembaganya, dll.
Tentu momentum tersebut juga harus didukung oleh pemerintah dengan berinvestasi pada bidang riset dan SDM. Lain pihak, dokumen rencana induk riset nasional 2017-2045 juga sudah dirumuskan. Terdapat poin-poin dimana anak muda bisa ikut berperan. Namun yang terpenting adalah bagaimana suatu riset tidak hanya fokus pada satu bidang ilmu pengetahuan, tetapi harus berkolaborasi lintas disiplin ilmu, lintas lembaga dan lintas keberpihakan.
Kita sudah melihat bahwa kemajuan suatu negara berbanding lurus dengan riset, saintek, dan pengembangannya. Maka dari itu, perbedaan antara negara maju dan tidak yaitu pada riset dan saintek. Lalu ke depannya, kita akan melihat tagline bahwa,”kaum peneliti dan anak muda bisa menyelamatkan dunia”, yang akan mengalahkan “kaum rebahan bisa menyelamatkan dunia”.
Nurhadi Eko Firmansyah adalah Pendidik dan peneliti muda di Departemen Parasitologi FK UI, yang saat ini sebagai kandidat Doktor bidang parasitologi di Khon Kaen University-Thailand. Juga merupakan anggota dari Laboratorium Parasitologi Klinik (@parasitologi_klinik_lab). Hobinya berburu serangga dan parasit, kemudian meramunya menjadi ilmu pengetahuan.