2   +   2   =  
Bagikan

Baru-baru ini, Saya mendengarkan keluh kesah teman sebaya, soal kerjaan. Dia  sering mengeluh dengan beban kerja yang dianggap tidak manusiawi.

Tentunya situasi ini makin diperparah dengan para atasan yang semena-mena dan rekan kerja yang kurang asik.

Di sisi lain, senior saya,  yang kini sudah duduk di posisi tertinggi di sebuah perusahaan, mencibir generasi muda yang dinilainya  makin lembek dan banyak mau.

Kegelisahan senior Saya itu kiranya masih wajar, bayangkan saja, setiap  ia menegur anak-anak muda unyu-unyu ini karena kinerja yang buruk, mereka melawan, lalu mendadak diam, merasa ditindas dan bulan berikutnya mengajukan surat pengunduran diri, ada juga yang tahu-tahu pergi tanpa permisi.

Dari cerita kedua belah pihak, saya menilai, dunia kerja kini mulai berubah.  Kedudukan antara pemberi kerja dan pencari kerja mulai “setara”: sama-sama bisa menuntut.

“Kedudukan antara pemberi kerja dan pencari kerja mulai “setara”: sama-sama bisa menuntut.”

Balik kecerita-cerita masa lalu, secara umum, para pekerja dari generasi X seringkali nerimo, nerima apa saja tuntutan dari atasan maupun perusahaan.

Terlebih lagi, jika mereka bekerja disebuah perusahaan bergengsi.  Mempertanyakan haknya saja pun  mereka tidak ada nyali.

Pada waktu itu, masih sedikit sekali para pencari kerja yang kritis dan mempertanyakan soal benefit apa saja yang bisa didapat jika para pekerja bergabung pada sebuah perusahaan.

Perusahaan pada masa lalu merasa dibutuhkan oleh para pencari kerja, makanya dominasi perusahaan terhadap tenaga kerja cukup besar. Perusahaan masa lalu bisa memeras tenaga kerja habis-habisan, tanpa ada perlawanan berarti dari para pegawainya.

Coba amati sejenak, relasi ini masih sering terlihat dari pola hubungan dikalangan generasi X dengan generasi sebelumnya di arena kantor. Namun, hal ini tidak terjadi dikalangan generasi milenial, yang cenderung cuek dan berani.

Baca Juga  Strategi Ampuh Kepala Daerah Tangani Distrupsi dan Pandemi

Karena sejak generasi milenial menginvansi dunia kerja, semua tidak lagi sama seperti zaman generasi X dan Baby Boomers waktu pertama kali bekerja. Generasi milenial mulai menantang tradisi-tradisi feodal dan birokratisasi dari para generasi sebelumnya.

Bahagia Selamanya, Bekerja Secukupnya

Bagi milenial, bahagia selamanya, bekerja secukupnya adalah gaya hidup. Maka tidak heran, sikap, pikiran dan tingkah laku generasi milenial seperti kotak pandora bagi generasi X maupun Baby Boomers.

Menariknya, jika pada masa lalu perusahaan sering bertanya “Apa yang dapat anda berikan kepada perusahaan? Dan apa yang membuat anda  lebih baik dari para pekerja lainnya?”.

Sekarang, generasi milenial sudah punya keberanian untuk balik bertanya, “Apa yang dapat perusahaan anda berikan kepada para pekerja? Dan apa yang  membuat perusahaan anda lebih baik daripada perusahaan lainnya?”.

Hal ini sudah jadi fenomena biasa saja. Dari beberapa literatur yang saya baca, memang generasi milenial memiliki pandangan yang cukup menarik, bagi mereka lebih baik menganggur lebih lama ketimbang bekerja dibidang yang tidak mereka sukai, atau dengan ekosistem kantor yang mereka benci.

Perilaku mereka ini, tentunya didukung oleh akses informasi yang tersedia di platform lapangan kerja online yang membuat generasi milenial mudah mengakses berbagai informasi tentang reputasi perusahaan, pekerjaan, gaji atau posisi yang diincarnya.

Tidak hanya sekedar mencari informasi perusahaan. Platform digital, membuka banyak kesempatan dan beragam cara bagi milenial dalam mencari nafkah. Dunia maya menfasilitasi banyak tawaran pekerjaan freelance dan part time yang dapat dilakukan kapapun, dimanapun dengan siapapun.

Teknologi  pada akhirnya membuat generasi milenial tidak menjadikan bekerja di perusahaan sebagai satu-satunya cara untuk bertahan hidup sebagaimana generasi pendahulunya. Karena bukan satu-satu sumber mencari rezeki, generasi milenial jadi lebih mempunyai posisi tawar di hadapan perusahaan.

“Teknologi  pada akhirnya membuat generasi milenial tidak menjadikan bekerja di perusahaan sebagai satu-satunya cara untuk bertahan hidup sebagaimana generasi pendahulunya.”

Menurut  Agnes Amelia,  di dalam  Employer Branding: When HR is the New Marketing (2018) Generasi milenial menjadi lebih berani untuk mempertanyakan banyak hal dalam proses wawancara dengan perusahaan. Generasi milenial  yang tidak takut beropini inilah yang membawa perubahan signifikan di dalam perusahaan, terutama dalam proses rekruitmen karyawan.

Baca Juga  Toleransi Tidak untuk Kaum Intoleran

Pengangguran Banyak Acara, Pekerja Banyak Gaya

Kita masih menghadapi banyak kendala. Walaupun pasar tenaga kerja kian tumbuh, angka pengangguran masih tetap mendaki ke atas.

Perlu diketahui bahwa pengangguran ini mencerminkan suatu situasi dimana jumlah tenaga kerja melebihi jumlah lapangan kerja. Hal ini sering disebut workforce surplus. Hal ini juga semakin diperparah dengan minimnya daya serap perusahaan dan buruknya kualitas tenaga kerja kita.

Generasi muda Indonesia juga sering tertimpa job gaps, sebuah situasi dimana talenta berbakat menerima sebuah pekerjaan yang berlawan dengan kompetensinya karena ia membutuhkan pendapat. Tentunya, ini akan berdampak langsung pada produktivitas dan performa kerjanya.

Keadaan ini mengarah, pada  polemik saat debat pilpres 2019 kemarin, dimana masalah skills mismatch tak mudah diatasi.

Ini perlu cermati bersama, skills mismact atau ketidaksesuaian antara kemampuan yang dimiliki calon pekerja  dengan pemberi kerja adalah salah satu sumber masalah bagi pembangunan perekonomian kita.

Pengusaha sering mengeluh soal ini. Mereka merasa sulit untuk mendapatkan talent yang berkualitas, terutama untuk posisi di luar pulau jawa dan kota-kota besar.

Padahal perkembangan ekononomi Indonesia di masa depan, ditentukan oleh produksi dan distribusi para pekerja berkualitas unggul di berbagai sektor dengan kualifikasi yang sesuai.

Saya membayangkan, jika pemerintah tidak serius menggarap SDM unggul,  keadaan ini akan membuat bangsa kita kesulitan menemukan anak muda berkualitas di tahun 2024.

Bagi saya saat ini, pembinaan tenaga kerja terampil merupakan tanggung jawab utama pemerintah. Agar pengangguran punya pekerjaan, para pekerja memiliki keterampilan lagi-lagi ini adalah misi suci pemerintah.

“Agar pengangguran punya pekerjaan, para pekerja memiliki keterampilan lagi-lagi ini adalah misi suci pemerintah.”

Bila ini gagal, dampaknya terhadap tingkat pengangguran usia muda yang akan semakin tinggi, karena di negara ini anak muda masih dianggap belum memilki keterampilan dan pengalaman.

Baca Juga  Politik Anak Muda Dijerat Negara Orang Tua

Hal  dikarena, setiap orang di dunia bisnis tahu, bahwa sistem pendidikan kita ternyata tak menghasilkan keterampilan yang kompatibel dengan kebutuhan industri.

Singkat kata, dalam situasi semacam ini, saya melihat bahwa ini menjadi berkah bagi anak muda yang terampil, dan musibah bagi anak muda modal tampilan.

Mengapa? Karena terbatasnya jumlah talenta muda berkualitas dan banyaknya kebutuhan perusahaan akan pekerja berkualitas membuat banyak perusahaan berkompetisi untuk mendapatkan anak muda bertalenta juara.

Dengan demikian, perusahaan akan memberikan kompensasi yang cukup besar untuk mencegah  terjadinya turnover atau brain drain karyawan.  Hal ini membuat, para talenta berbakat dapat memperkuat posisi tawar mereka pada harga yang tertinggi.

Para pengusaha semakin sadar, bahwa di era ini, bisnis yang besar akan semakin lincah jika lebih di dorong oleh kekuatan manusia, bukan modal.

Dalam konteks ini, perusahaan dan pemerintah akan “dipaksa” untuk menjadikan sumber daya manusia sebagai investasi yang paling berharga untuk masa depan bangsa.

Sebagaimana kata Klaus Schwab, Executive Chairman, World Economic Z Forum yang menyatakan, “ Dunia itu bergerak, dari kapitalisasi menjadi talenisasi”.


Bagikan