8   +   9   =  
Bagikan

Menuju era connected society, dunia mulai berubah, termasuk cara kita untuk mengabdi dan berkolaborasi. Kini kita saling terhubung dengan sesama manusia, mesin cerdas, algoritma: dimanapun, kapanpun dan dengan perangkat apapun.

Masa depan sedang melompat ke hari ini, menantang lembaga pemerintah, institusi swasta dan organisasi masyarakat sipil untuk menemukan cara-cara kreatif agar tetap relevan dan tidak tumbang di telan zaman, tidak terkecuali organisasi kerelawanan.

Bila diamati, dalam kurun waktu lima sampai sepuluh tahun terakhir, telah terjadi perubahan besar terhadap pola dan ekosistem kerelawanan di Indonesia buah perkembangan startup, social media, artificial intelligence, massive online open courses, economy platform dan gig economy.

Para relawan hari ini semakin cair dan lebih mudah untuk mengakses pengetahuan, mengumpulkan dana, membangun kerjasama, memobilisasi massa hingga mengorkestrasi sumber daya. Sebuah metode-metode baru yang bahkan tidak terbayangkan pada masa lalu.

Sekarang setiap individu dari Gen Y maupun Gen Z, dapat membuat gerakan tanpa perlu bergabung pada organisasi-organisasi mapan. Komunitas-komunitas anak muda tumbuh dan berjamur di tingkal lokal. Ada juga yang bergerak sendiri tanpa embel-embel organisasi tapi mampu menarik simpati publik.

Mereka membuat projek sosial hanya bermodal niat baik, lalu mengakumulasi inisiatif-inisiatif positif untuk membuat perubahan dan berhasil. Walaupun mereka tak pernah digembleng oleh “kerasnya” dunia kaderisasi ala organisasi mahasiswa, organisasi pemuda plat merah atau lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Lambat laun, anak-anak muda ini akan menantang program atau ide konvensional tentang bagaimana relawan berkontribusi, apa yang relawan harapkan dari organisasi yang telah mapan dan mampukah organisasi kerelawanan melawan ancaman irelevansi di masa depan?

Perlu pendekatan baru untuk menyegarkan organisasi kerelawanan agar kompatibel dengan perubahan tren masa kini. Perubahan adalah desakan eksternal, sedangkan berubah adalah keinginan internal.  Kedua hal tersebut dapat dikendalikan oleh tata kelola yang hebat dan strategi yang tepat.

Baca Juga  Dear Masa Depan, Kita Lelah Bernostalgia dan Ketakutan, Biar Mereka saja yang ketinggalan zaman!

Periksa kembali barang bawaan anda

Mudah menemukan orang atau organisasi yang membicarakan perubahan, tetapi selalu merasa mereka tidak perlu berubah. Mereka tahu bahwa dunia telah berubah, tetapi masih  terjerat cara-cara lama. Ini sama seperti menunggu penyakit kronis menimpa kita, dan saat sekarat, kita baru sibuk mengeluarkan biaya yang mahal untuk berobat.

Sederhananya, jika anda tidak menyiapkan barang-barang bawaan anda menuju masa depan, maka ketika sampai disana, anda tak akan mampu bertahan karena tidak memiliki bekal.

Beberapa tahun ke depan, bahkan sekarang akan menjadi semakin menarik, tak terduga dan penuh kejutan. Kita akan melihat perubahan luar biasa yang mempengaruhi ekosistem kerelawanan, organisasi relawan dan perilaku relawan itu sendiri.

Menjadi relawan adalah pengalaman yang diperlukan anak muda. Relawanan berkontribusi bukan karena gaji, ini lebih pada kepuasaan pribadi, pemberdayaan diri, dan  panggilan untuk berbagi. Karena itu sudah menjadi tugas organisasi kerelawanan untuk tidak membuat program maupun kegiatan yang membosankan.

Relawan adalah seseorang yang ingin berkontribusi karena mereka “mau” bukan hanya “perlu”. Di era abundance, relawan akan menemukan jalur kariernya sendiri, dapat berkontribusi lewat saluran apapun dan bertemu pada satu titik. Sebuah keniscayaan bahwa kerelawan sosial akan menjadi gaya hidup bagi generasi muda:  Gen Y, Gen Z dan Gen Alpa

Hati-hati dalam melangkah

Langkah pertama agar organisasi kerelawanan inheren dengan masa depan adalah  dengan menantang praktik-praktik konvensional yang telah menjadi habitus organisasi. Karena sering kali rutinitas menjadi zona “santuy” yang meringkus inovasi juga kreatifitas. Kebuntuan semacam ini, perlu di adu oleh gagasan siapapun di organisasi kerelawanan dalam upaya mengekplorasi berbagai kemungkinan pembaharuan.

Untuk memulai transformasi atau self disruption, organisasi kerelawanan perlu menciptakan perasaan atau urgensi mengapa terobosan diperlukan sejak dini tanpa harus menunggu distrupsi hadir tanpa diundang.

Baca Juga  Mahasiswa Jadi Agen Tangkal Krisis Pendidikan

Rasa urgensi mendesak setiap SDM di dalam organisasi lebih berani mengambil resiko, berinisiatif, berbenah dan bergerak. Rasa urgensi membutuhkan krisis terkendali untuk mengkonsulidasi tenaga internal berpetualang menuju samudra biru yang penuh imajinasi: memaksimalkan manfaat dan meminimalkan mudarat.

Langkah kedua, jadikan kolaborasi sebagai mantra serbaguna dengan nilai-nilai dan tujuan bersama. Dengan merangkul setiap golongan, menerima berbagai perspektif, menjahit setiap keahlian, merajut jaringan kepemimpinan dan mempertemukan semua mimpi. Karena kolaborasi adalah tulang punggung bagi keberlangsungan ekosistem kerelawanan. Dengan demikian, kolaborasi bisa dikonkretkan melalui improvisasi skema Public-Private-People Partnership dalam penyelenggaran program maupun inkubasi platform.

Langkah ketiga, mengadministrasikan mimpi dengan mengkalkulasi kemampuan rill organisasi, menetapkan ambisi yang paling sempurna, di tambah ekspektasi dari para relawan terhadap organisasi. Hasil dari kalkulasi ini perlu diterjermahkan menjadi strategi dan taktik yang lebih berorientasi pada investasi jangka panjang yang mengakomodir semua pihak untuk dapat membayangkan bagaimana mimpi-mimpi tersebut terwujud di masa depan dan layak dicicil sekarang. Dengan demikian, ini memungkinkan para relawan memiliki pedoman untuk merespon situasi yang terus berubah-ubah.

Langkah keempat, tularkan misi organisasi dengan cara memastikan semua pihak dan sebanyak mungkin anak-anak muda atau calon-calon relawan memahami apa yang akan kita kerjakan. Dalam organisasi yang kaku dan berlapis-lapis, upaya ini bisa runyam. Maka, misi organisasi perlu dibuat sederhana dan interaktif, menggunakan metafora dan analogi, kurangi data dengan  mengemasnya menjadi cerita-cerita yang menginspirasi.

Langkah kelima, amati, tiru, dan modifikasi (ATM) manajemen holacracy. Sistem ini biasa disebut sebagai self-management. Dengan demikian, diharapkan membuat organisasi kerelawanan bergerak lebih progresif dan berorientasi pada tujuan. Holacracy tidak memiliki rumus yang baku tetapi prinsip utama sistem ini adalah kebebasan penuh kepada setiap individu atau kelompok relawan untuk berkarya semaksimal mungkin tanpa batasan dari “atasan” atau otoritas tertentu.

Baca Juga  Akselerasi Teknologi di Tengah Pandemi

Ide dasar dari holacracy menganggap cara terbaik agar “tugas” dapat ditunaikan adalah dengan memberikan kepercayaan kepada seluruh anggota, dalam konteks ini pada para relawan untuk memilih cara yang diangap paling ampuh menurut mereka sendiri.

Langkah keenam, organisasi kerelawanan perlu memulai bergerak pada jalur Objectives Key Results (OKR) dimana kita menetapkan tujuan (objectives) dan menentukan tujuan (key result) dalam bentuk kuantitatif (angka), sehingga setiap relawan termotivasi untuk mencapai targetnya.

Tujuan lebih baik tidak diuraikan secara kualitatif tetapi dalam bentuk kuantitatif, misalnya seperti, “Kami ingin mensejahterahkan anak muda agar menjadi lebih bahagia”, namun lebih konkrit “kami akan memandirikan lima puluh anak muda dalam jangka waktu enam bulan”.

Langkah ini menjadi penting untuk membuat keberhasilan terlihat sesegera mungkin. Mendorong kemenangan jangka pendek dalam setiap jerih payah mewujudkan perubahan jangka panjang. Dan yang paling penting untuk merawat dan melestarikan optimisme bagi gerakan kerelawanan di masa depan.

 


Bagikan