Keluarga Bos Lokal dan Anak Muda Tanpa Hak Istimewa – Warga Muda
Saya baru saja membaca buku Schulte Nordholt yang berjudul “Politisasi Demokrasi” cukup baik dalam menjelaskan proses politik di dalam penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia.
Nordholt, dengan piawai mengurai peristiwa krisis moneter di Indonesia yang berimbas menjadi krisis sosial politik yang meletuskan gerakan reformasi. Karena gelombang gerakan rakyat yang besar. Pada masa itu, rakyat berhasil membuat peralihan zaman dari rezim otoriter menuju demokrasi.
Proses demokrasi menuntut upaya desentralisasi kekuasaan. Gerakan masyarakat sipil menggalang upaya desentralisasi sebagai cara menciptakan pemerintahan yang lebih transparan dan partisipatif.
Antara harapan dan kenyataan ternyata bertolak belakang dalam proses politik. Anggapan desentralisasi membuka kran demokratisasi, ternyata yang terjadi sebaliknya. Desentralisasi dan tumbangnya rezim otoriter, tidak serta merta membuat ekosistem politik di tingkat lokal menjadi demokratis.
Bila merujuk pada analisa Nordholt, hal ini disebabkan oleh beberapa hal seperti, merebaknya kekerasan komunal dan konflik berbau agama, menguatnya primodialisme kedaerahan, birokrasi yang berpolitik, maraknya korupsi, kolusi dan nepotisme di berbagai lini.
Di saat bersamaan, Nordholt ingin mencoba memberikan perspektif baru untuk mendekonstruksi asumsi-asumsi lama tentang Orde Baru agar lebih jernih untuk melihat situasi politik Indonesia kontemporer, dengan pendekatan “kesinambungan perubahan”.
Kesinambungan perubahan dalam pandangan Nordholt adalah perubahan atas keuletan ikatan patrimonial dan pengabaian kelas dalam perpolitikan Indonesia.
Patrimonialisme sendiri merujuk pada sentralisasi kekuasaan yang berpusat pada penguasaan perseorangan (kingship rulerships) yang mengakumulasi kekuasaan pada hubungan “raja-budak”.
“Sang raja” hanya membagikan sumber daya kekuasaannya kepada “budak-budak” yang setia agar kekuasaannya tetap stabil. Di sisi lain, para “budak” mengharapkan perlindungan secara politik dan ekonomi kepada ‘sang raja”. Persekongkolan ini dilestarikan oleh kedua belah pihak.
Pandangan ini mengisyarakan bahwa Nordholt melihat sifat dasar perpolitikan Indonesia dalam dimensi pasca-kolonial dimana garis batas antara negara dan masyarakat sangat kabur.
Hingga saat ini, Nordholt melihat bahwa para elit daerah lebih terbiasa mempertegas atribusi identitas ketimbang kelas mereka dalam mengartikulasikan kepentingan politiknya. Karena dikatakan bahwa di Indonesia politik identitas lebih efektif menjadi sarana mobilisasi, ketimbang politik berbasis kelas dalam praktiknya di tingkat lokal.
Akhirnya yang terjadi dalam situasi ini bukan relasi politik yang saling berhadap-hadapan antara masyarakat dan negara, tetapi lebih kepada pola-pola patrimonial yang kuat, di mana yang beradu sebenarnya adalah “Keluarga Bos Lokal” lawan “Keluarga Bos Lokal”.
Keluarga Bos Lokal
Konsep bos lokal, saya rujuk dari istilah yang digunakan oleh Jhon T Sidel, dalam mendeskripsikan sekelompok aktor lokal yang mampu mengendalikan dinamika ekonomi, sosial dan politik di tingkat lokal.
Jhon T. Sidel melihat bahwa bos-bos lokal merupakan calon penguasa yang memiliki monopoli ekonomi, bahkan kekuasaan represif pada suatu daerah. Mereka tidak segan untuk melakukan manipulasi dalam setiap operasinya, terutama untuk mempertahankan dan merebut kekuasaan.
Dari Schulte Nordholt dan Jhon T. Sidel, kompetisi politik di tingkat lokal bagi saya hanya seperti pertandingan olahraga antar keluarga penguasa di tingkat lokal. Konstetasi ini biasanya dilakukan turun-menurun oleh semua anggota keluarga besar bos-bos lokal untuk mendapatkan piala kekuasaan.
Pada praktiknya, politik turun-temurun memang biasanya terjadi pada kepemimpinan di daerah. Di mana kekuasaan diwariskan dari keluarga kepada sanak-saudaranya.
Walaupun hari ini, sistem pemilu sudah mencoba meminimalisir hal tersebut, praktik patrimonialisme tetap tidak bisa dicegah. Karena “keluarga bos lokal” sudah semakin piawai mengikuti aturan main demokrasi prosedural di tingkat daerah.
Pengaruh “keluarga bos lokal” mengakar dalam seluruh aspek kehidupan politik lokal di Indonesia, mulai dari lembaga struktural hingga lembaga kultural, bisa dalam bentuk formal maupun informal.
Menguatnya keluarga “bos-bos lokal” memiliki dampak negatif terhadap regenerasi kepemimpinan di daerah. Karena bagi anak muda yang terlahir bukan dari keluarga bos lokal, namun memiliki talenta yang luar biasa, maka mereka akan sangat kesulitan untuk mendapatkan jabatan di ruang publik. Karena keluarga bos lokal akan lebih mengutamakan kerabatnya mengisi jabatan publik, bahkan mendapatkan proyek pembangunan sebagai kepentingan politik yang utama dan pertama.
Namun tidak seperti jaman keluarga kerajaan dahulu, para anggota keluarga bos lokal saat ini memulai membekali sanak-saudaranya dengan pendidikan tinggi untuk meyakinkan publik dan modal ekonomi dalam memobilisasi dukungan.
Singkatnya, keluarga bos lokal selalu berusaha membuat sanak-saudaranya “layak” untuk mendapatkan sumber kekuasaan dan keuangan di daerah. Kompetisi antar keluarga bos lokal merupakan fakta politik yang hadir di depan mata kita semua.
Pertanyaan selanjutnya adalah apa yang harus dilakukan anak muda dari keluarga tanpa hak istimewa dalam situasi politik yang dikuasasi oleh keluarga bos lokal?
Biasanya anak-anak muda yang sangat bertalenta di daerah ditarik oleh anak-anak “bos lokal” untuk menjadi staff ahli, konsultan atau mitra kerja. Sedikit sekali anak muda di tingkat lokal yang memilih untuk menantang status qou ini atau mereka lebih memilih mencari akses politik lain di luar wilayahnya..