8   +   5   =  
Bagikan

Jurusan Information Teknologi atau rumpun ilmu pengetahuan yang terkait dengan IT menjadi sebuah primadona bagi masyarakat untuk bisa memulai karir pada bidang tersebut. Jurusan atau rumpun ilmu pengetahuan dibidang IT juga menjadi salah satu favorit bagi para calon mahasiswa baru di Indonesia. Hal ini bukanlah tanpa sebab, menurut data riset McKinsey, di tahun 2030 Indonesia akan kekurangan 10 juta talenta digital. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) juga mencatat, Indonesia kekurangan 400 ribu – 500 ribu talenta digital per tahun. Namun sayangnya ada banyak hal yang menjadi dilemma ketika menjadi anak “IT” di Indonesia.

 

Dianggap Bisa Semua Hal

Salah satu dilema yang muncul dari lulusan IT adalah mereka seringkali dianggap bisa melakukan segala hal. Tak jarang anak “IT” dianggap bisa untuk memperbaiki barang-barang elektronik atau bisa nge-hack akun sosial media orang lain. Generalisasi yang dilakukan seperti ini justru menjadi dilema tersendiri bagi mereka yang bekerja di bidang “IT”. Mereka tak jarang dianggap sebagai jalan selamat untuk menyelesaikan semua pekerjaan yang terkait dengan dunia digital. Tak jarang juga lowongan kerja yang tersedia juga menuntut banyak hal yang seharusnya dikerjakan oleh 2 atau lebih orang yang berbeda justru malah dilimpahkan kepada satu orang saja.

 

Anak IT “Harus Bisa” Ngoding

Sebuah stigma atau mindset yang melekat bahwa semua anak IT harus bisa atau jago coding juga menjadi sebuah persoalan atau dilema tersendiri. Hal ini justru semakin menunjukkan bahwa belum pahamnya kita akan berbagai bidang yang ada dalam dunia IT. Misalnya dalam pengembangan sebuah aplikasi tentunya yang dibutuhkan bukan hanya seorang programmer saja melainkan terdapat peran lain seperti sistem analis, UI/UX Design, Software Quality Assurance, dan peran lainnya yang terkait dengan pengembangan tersebut. Semua peran tersebut pada dasarnya merupakan rumpun ilmu pengetahuan di bidang teknologi informasi.

Baca Juga  Generasi Milenial adalah Generasi Negatif, Masa Iya?

Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya Kegiatan digitalisasi adalah sebuah Kegiatan kolaboratif yang dilakukan oleh berbagai peran dengan kemampuan keilmuan masing-masing untuk menghasilkan sebuah sistem digital yang memudahkan proses bisnis dari suatu organisasi atau perusahaan. Sehingga anggapan bahwa semata-mata anak IT harus bisa untuk ngoding atau anggapan bahwa ketika tidak bisa coding kita gagal menjadi anak IT adalah sebuah anggapan yang keliru. Namun jika dikatakan bahwa anak IT harus memiliki dasar pemahaman logika dalam mengembangkan sebuah sistem informasi itu merupakan hal yang sesuai dan memang menjadi dasar yang harus dimiliki oleh lulusan IT.

Tech Winter Terjadi, Outsourcing Menjadi Opsi

Fenomena tech winter masih melanda sektor usaha rintisan bidang teknologi finansial dan diperkirakan akan berlanjut pada 2024. Fenomena ini membuat beberapa perusahaan startup melakukan lay-off hingga freeze hiring. Hal ini menyebabkan pilihan bekerja lulusan IT di Indonesia menjadi berkurang. Padahal startup menjadi salah satu tempat kerja Impian dari lulusan IT di Indonesia. Penawaran gaji yang kompetitif hingga potensi pengembangan skill dan kemampuan yang cepat menjadi salah satu daya Tarik dalam dunia startup. Istilah tech winter menggambarkan fenomena perusahaan rintisan (startup) yang mulai berjatuhan satu per satu. Hal ini disebabkan  kenaikan biaya modal, sehingga para investor lebih selektif dalam menempatkan dana investasinya untuk meminimalkan risiko.

Dengan masih terjadinya situasi tech winter saat ini juga menjadi salah satu dilema dan tantangan bagi para lulusan IT di Indonesia. Jika kita berbicara bekerja pada perusahaan nasional atau swasta tentunya kita akan dihadapkan pada pilihan bekerja secara “Outsourcing”. Hal ini dikarenakan banyak perusahaan besar yang mengisi posisi dibagian IT dengan tenaga kerja bersifat “Outsourcing”. Secara garis besar IT outsourcing adalah praktik bisnis di mana suatu perusahaan akan menggunakan tenaga kerja dari penyedia eksternal atau pihak ketiga untuk menangani kebutuhan perusahaan yang berhubungan dengan IT.

Baca Juga  Bukan Valentine, Ini Penyebab Anak Muda Tidak Bisa Berinovasi, Mungkin Kamu adalah Korbannya?

Dengan menggunakan IT Outsourcing Perusahaan dapat menghemat biaya dan waktu sehingga perusahaan dapat lebih fokus pada inti bisnisnya. Namun disisi lainnya bekerja secara “Outsourcing” tentunya terdapat beberapa kerugian dari sisi pegawai atau pekerja. Salah satu kerugian dari bekerja secara “Outsourcing” adalah keterbatasan dalam pengembangan karir.

Hal ini dikarenakan posisi pekerja “Outsourcing” yang berada dipihak ketiga membuat kesempatan mereka untuk pengembangan karir dan posisi menjadi sedikit terhambat. Pekerja “Outsourcing” biasanya akan difokuskan  mengerjakan sebuah pekerjaan berjangka. Setelah projek tersebut selesai, pekerja akan dipindahkan ke mitra lain yang sedang membutuhkan pekerja tersebut. Sehingga potensi berpindah-pindah pekerjaan menjadi besar. Namun peluang menjadi karyawan tetap juga sedikit sulit dilakukan mengingat ikatan kerja yang terjadi hanya sebatas “Outsourcing”. Pada dasarnya tenaga outsourcing bekerja bukan pada pemilik perusahaan selaku majikannya, tapi tunduk pada perusahaan alih daya yang jadi agennya.

 

Itulah beberapa dilema yang dihadapi oleh mahasiswa atau lulusan “IT” di Indonesia. Dilema ini tentunya menjadi sebuah hal yang harus dipertimbangkan bagi mereka yang ingin berada atau berkarir di dunia “IT”.


Bagikan